Tag Archives: Vie

Indrie…

Pagi ini bermula nyaris biasa-biasa saja. Sama seperti hari-hari biasa, aku telat shalat subuh karena ketiduran abis witir. Halah, niatnya nambah pahala malah bablas. Setelah rutinitas pagi, mengejar nasi goreng salman yang berakhir dengan kegagalan, akupun beranjak bersiap akan kekampus. Aku mampir sebentar kemasjid, disitulah aku menerima sms dari ninda yang isinya mengabarkan bahwa pagi ini akan ada aksi. Aku segera beranjak ke gerbang, dan benarlah… jas almamater sudah mulai terlihat disana-sini.

“Akh, antum ikut aksi ya… ” Gilang segera menyambarku.

“Oke lah, tapi saya nggak bawa jas almamater euy…” jawabku, malasku segera hilang saat itu juga.

“Gampang lah, kita ada cadangan kok.” jawabnya kemudian.

Saat itu rombongan baru beberapa belas orang. Aku sebenarnya sudah nggak sabar menunggu. Berhubung sebenarnya agak gatel juga, kangen turun kejalan seperti Kabinet era Tove, Anas dan Anam. Sambil menunggu aku mencari bahan obrolan dengan beberapa orang, dan… Iyan pun datang. Akhirnya kita kembali bicara masalah Akreditasi untuk ikut DM2 KAMMI. Aku sih sebenarnya udah nyerah, berhubung besok deadline akreditasinya. Aku bilang kedia bahwa aku berencana ikut DM2 di kamda Jakarta saja.

Tiba-tiba…

“Pharao!!” seorang wanita yang suaranya kukenal tiba-tiba memanggilku.

“Indriiii…!!” Aku berteriak nggak percaya dengan siapa yang kulihat.

Indrie, ya… Indrie, salah satu teman terdekatku saat SMA dulu (lihat “Cerita Tentang Vie“). Penampilannya nyaris masih sama seperti dulu saat kami berpisah setelah SPMB. Ia kuliah di seberang pulau, kampus UNILA jurusan Kimia. Sudah nyaris 5 tahun kami tidak bertemu, aku kehilangan kontak sama sekali dengannya. Bahkan pada suatu kesempatan di masa liburan kudatang ke rumahnya, aku tidak dapat bertemu karena liburan itu ia tidak pulang kampung. Sama sekali nggak kami sangka-sangka, setelah selama ini, justru akhirnya kami bertemu di sini… Dikampusku… di Institut Teknologi Bandung.

Ah… setelah sekian lama, Indrie yang kukenal masih seperti dulu. Harus kuakui ada saat-saat dimana memori saat kami bersama di Moonzher kembali muncul, membuatku ingin kembali ke masa-masa itu. Masa-masa tanpa beban dimana Aku, Tora, Yuni, Erni dan Indri masih berkumpul bersama, ngerjain tugas kelompok bersama, bikin yell-yell konyol bersama, cerita tentang gebetan ato artis idola masing-masing. Dan satu hal yang masih membekas adalah lagu-lagu westlife yang menjadi favorit indrie. Aku jadi ikutan hafal walaupun sejujurnya aku tidak terlalu menyukai boyband.

Tiba-tiba semua kenangan itu kembali menyeruak seakan terpanggil oleh sosoknya itu. Ia telah lulus dari studi S1-nya. Sekarang ia sedang mendaftar untuk mengambil S2 di kampusku yang super duper keren ini. Meski penampilannya masih nyaris sama seperti dulu, kami masing-masing telah tumbuh di dua lingkungan yang berbeda. Alhamdulillah, aku kembali ‘terjerumus’ dalam pelukan cinta dan ukhuwah di lingkar-lingkar halaqah, setelah selama 3 tahun di SMA hal itu menjadi suatu hal yang hilang dari hidupku. Belum banyak hal yang bisa kueksplorasi dari pengalamannya sepanjang 5 tahun ini. Aku hanya bisa berharap ia dapat lulus seleksi pendaftaran pasca sarjana, sehingga dapat melanjutkan studinya di sini.

Entahlah… aku tidak dapat mendeterminasikan bagaimana perasaanku secara persis saat kelas 1 SMA dulu. Beberapa teman lain juga menganggap bahwa hubungan kami terlalu dekat jika hanya sebatas teman. Meski begitu, backgroundku yang mesantren semasa MTs dulu memberikan sekat yang tidak ingin kulewati. Namun jujur, secara manusiawi sesuatu yang lebih dalam dari sekedar pertemanan sempat muncul tahun pertama kami sekelas. Walaupun begitu, as far as I know, kami berdua sama-sama menganggap bahwa kami hanya teman biasa saja.

Pada pertemuan tadi pagi tak banyak yang bisa kami obrolkan, hanya sedikit tentang kabar teman-teman kami, cerita soal adiknya yang kini di Seni Rupa ITB, cerita soal ibunya yang melihat sosokku sedang berkeliaran dikampus serta tak lupa bertukar nomor HP. Darinya Aku mendapat kabar terbaru soal salah satu teman kami dulu… Erni menikah!! Kuingat ia sempat bilang: “Gile nih, temen-temen gue udah pada nikah, gue aja sampe sekarang belom ada pacar.” Aku cuma bisa tersenyum datar mengingat apa yang ku jalani sekarang, bingung.

“Lo mo datang gak Rao?” tanyanya.

“Yah, gue sih pengennya dateng Drie. Tar lo calling2 gue lah, biar kita barengan kesananya.” jawabku.

Dan penggalan percakapan itu menjadi akhir perjumpaan kami. Perjumpaan yang membawaku pada perenungan panjang tentang masa lalu, hari ini dan masa depan. Semua hal yang kini masih tersimpan sebagai misteri dibalik kehidupanku yang berjalan entah akan kemana.

Lirik-lirik…

Postingan saya sebelumnya hanya berisi lirik “mimpi” dari Anggun C. Sasmi, kebetulan aja denger lagu itu diputer di comlabs, dan kebetulan juga baru saat itu bisa mengapresiasi lirik lagu tadi. Lagu ini easy listening dan menurut saya sebagai penulis lirik amatir, artinya dalam. Ada keunikan dan sesuatu yang spesial dari pemilihan kata-kata dalam lagu ini. Nggak tau kenapa, tapi saya suka aja dengan pemilihan kata yang kesan pertama yang saya rasain adalah…”efektif”… pesan yang mau disampaikan lirik itu nyampe pada tujuannya tanpa berbelit-belit.

Saya memilih lagu itu untuk saya taruh di blog ini dengan alasan yang sesimpel itu. Nggak kepikiran tendensi apapun yang mengaitkan lagu itu dengan peristiwa yang saya alami atau sesuatu yang saya harapkan. Pokoknya ya cuma sekedar easy listening aja dikuping, dan saya dapet impresi yang kuat dari liriknya. Naluri auditoris saya aja yang menuntun saya untuk mengapresiasi lagu tersebut dengan cara meletakkannya sebagai salah satu lirik favorit saya minggu ini.

Ngomong-ngomong soal lirik, aku jadi inget tentang usul-usilnya aku pertama kali nimbrung dalam dunia tulis-menulis. Salah satu bidang pertama yang aku tekuni adalah membuat puisi dan lirik lagu. Nggak kerasa sudah sekitar 10-11 tahun sejak pertama kali aku menulis lirik buatanku sendiri. Dulu karena masih berstatus santri di husnul khotimah, lirik yang kutulis nggak jauh dari nasyid. Tapi seiring kepindahan ke SMU negeri, perlahan tapi pasti aku mulai berkenalan dengan lirik-lirik bertema cinta [monyet]. Saat itu juga aku mulai belajar menggunakan gitar saat membuat lagu. Lirik-lirik lagu itu kebanyakan merupakan refleksi dari apa yang aku alami secara nyata, tapi ada pula yang berdasarkan karangan imajinasiku saja.

Walaupun secara garis besar kebanyakan lirik yang kutulis semasa SMU (bahkan sebenarnya hingga hari ini pun masih) bertema cinta, tapi aku coba membawanya ke arah pemaknaan cinta dari lingkup yang lebih universal. Lagu seperti pelangi, mungkin suatu saat nanti, Tersenyumlah, dan kaos oblong adalah perwujudan dari cinta yang tidak dimaknai secara sempit sebagai hubungan mabuk kepayang dua insan berlawan jenis. Memang beberapa laguku ada juga secara khusus bicara tentang area tadi, seperti Menunggu, Fantastik, Save my Soul (bukan yang punyanya Padi), Superhero dan Vie. Tetapi itupun aku coba untuk mengungkapkannya secara tidak vulgar dan bertendensi terhadap pelecehan nilai dan arti dari cinta itu sendiri. Bahkan kadang kumasukkan pula nilai spiritual religius didalamnya. Semisal “Fantastik” (nggak aku publish di blog):

Oh tuhan, biarkan Ia tahu walau sekali saja
Bahwa Ialah anugerah terfantastik untukku…
Jangan biarkan Ia berlalu dari hidupku…
Karena ialah sang bidadariku

Oh tuhan, sampaikan semua cintaku untuknya
karena Ialah anugerah terfantastik untukku…
Jangan biarkan Ia berlalu dari hidupku…
Karena ialah sang bidadariku

Ada pula lagu yang murni sekedar tuangan imajinasi seperti Indah, yang berkisah tentang seorang gadis bernama Indah (tidak di publish, sama sekali tidak terinspirasi oleh siapapun) yang tabiat dan perangainya bertolak belakang dengan namanya. Lagu lainnya semisal, “Di balik cermin” serta abadi tentang refleksi pribadi, atau “Melukis dengan mata hati”, yang penggalan reff-nya:

Dan biarkan anganku pergi, berkelana dengan mentari
Tuk mengisi hari, dengan cahaya indahmu

Dan biarkan lepas khayalku berkelana dan arungi duniaku
Mengukir sejarah diatas sang waktu

Dalam lagu ini aku membayangkan diriku sebagai seorang tunanetra, dan sengaja lagu ini pun aku dedikasikan untuk mereka yang tidak menyerah pada keterbatasan fisiknya. Ada pula sebuah kisah khayalanku tentang seorang junker dalam lagu “detak-detak“, yang terinspirasi dari kisah seorang rekan yang terjebak dalam drugs. Lagu ini bercerita tentang perjalanan hidup seorang manusia sejak lahir hingga terjebak Drugs, pergolakan pikirannya saat ingin melepaskan diri dan akhir hidupnya sebelum tobatnya terucap.

Banyak hal yang bisa kita dapat dengan menulis. Menulis puisi dan lirik mengasah diri kita untuk lebih peka dalam melihat fenomena disekitar kita, dan mampu mengungkapkannya dalam untai kata yang indah dan estetis. Dari rangkaian kata inilah kita berharap bisa menggugah empati pendengar ato pembacanya yang pada akhirnya diharapkan ikut peduli dengan fenomena tersebut. So segitu dulu masalah dunia per-lirik-an. Maaf kalo ada yang nyasar ke halaman ini karena mengira isinya berkaitan dengan satu istilah “jelalatan”. Insya allah postingan itu nggak ada hubungannya sama sekali dengan itu.