Category Archives: mahasiswa

Jawaban bagi saudaraku…

Setelah artikel ini, yang kemudian saya tanggapi dengan ini, penulisnya kemudian memberikan tanggapan lebih lanjut yaitu ini. Oleh karena itu saya coba untuk memberikan tanggapan sebagai berikut:

Hmm… ok, Insya Allah saya bisa menangkap pesannya. Oleh karena itu saya mohon maaf, berarti masalah ini ada pada tataran perbedaan pandangan kita seputar dakwah politik serta bagaimana kita memandang hubungan kita sebagai individu muslim dengan ulil amri/penguasa. Hal ini bersifat furu’iyah (ijtihadi dalam dakwah), dan bukan hal yang bersifat Ushul (pokok ).
Saya menghormati argumen dan sikap antum tersebut seutuhnya, namun disamping itu saya berharap pula antum bisa menghormati sikap yang kami pilih yang meninjau fenomena ini dari sudut pandang berbeda. Sekali lagi, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga gesekan-gesekan kecil dalam hal pemikiran ini tidak menghalangi kita untuk tetap berukhuwah sebagai sesama muslim.

Penyebab utamanya telah jelas, yaitu bagaimana masing-masing memahami interaksi antara seorang muslim dengan pemerintahnya memang sama sekali berbeda. Tanpa mencoba untuk merendahkan atau beradu/menyanggah argumen beliau, saya coba memaparkan sedikit dari apa yang saya pahami. Bahwa sebagaimana rukun islam yang lima, dakwah dan amar ma’ruf nahyi munkar merupakan kewajiban yang secara inheren muncul bersama dengan keislaman kita. Pada intinya, dakwah merupakan kewajiban yang melekat pada diri seorang muslim.

Salah satu bentuknya adalah mengkritisi dan meluruskan kedzaliman yang dilakukan institusi pemerintah terhadap rakyat yang diayominya. Inti dari keberadaan pemerintahan adalah untuk memberikan kemaslahatan bagi ummat, jika hal itu tidak dapat dilakukan oleh ulul amri dan bahkan cenderung terjadi hal sebaliknya (eksploitasi rakyat secara zalim) maka sudah sepatutnya sebagai seorang muslim mengingatkan. Tujuannya agar yang sudah salah tidak semakin bertambah salah.

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-ra’du: 19)

Wallahu a’lam bishshawab

Kekalkanlah Ikatan Kami Yaa Allah!

Kemarin, hari jumat siang, alhamdulillah aku diberi kesempatan untuk kembali bersua dan bersilaturahmi dengan saudara-saudaraku alumni Husnul Khotimah di acara silaturahmi ISHLAH (Ikatan Alumni Husnul Khotimah) cabang Bandung. Begitu banyak hal berkesan yang aku dapat dari acara ini, terutama karena bisa berkenalan dengan alumni-alumni angkatan muda yang sebelumnya nggak saya kenal dan berbagi cerita dan kegundahan seputar Pondok serta rekan-rekan yang menghilang dari peredaran selepas keluar dari ma’had. Acara yang berlangsung selepas jumatan hingga maghrib itu benar-benar menjadi sarana melepas kerinduan dan isian ruhiyah yang maknyus buat saya pribadi.

Ada belasan ikhwan serta belasan akhwat dari berbagai angkatan yang hadir. Alhamdulillah aku dan Akh Iman belum menjadi angkatan [paling] tua, karena akh Ginanjar Hatuala datang di acara tersebut. Beliau adalah teman seangkatan Ramdhan TG’03 yang (baru aku ingat ternyata sama sepertiku) keluar dari ma’had selepas MTs untuk melanjutkan studinya di SMU negeri. Keberadaan beliau begitu aku syukuri karena ada kisah dan taushiyah dari Ikhwan yang baru saja berbahagia dengan kelahiran anak pertamanya ini, yang luar biasa mengena bagi diriku. Taushiyah ini beliau dapat dari seorang alumni lain eks-presiden ISHLAH pusat, Akh M. Muthi Ali. Insya Allah taushiyah tersebut akan coba aku rangkaikan bagi antum semua yang membacanya saat ini.

Alkisah…

Di suatu waktu, ada seorang akhwat alumni generasi awal yang selepas lulusnya dari HK kemudian melanjutkan studi dan menetap di daerah jakarta. Bersyukurlah, Allah menghendaki akhwat ini untuk tetap istiqamah dengan aktivitas dakwah dan tarbiyahnya selepas dari ma’had, disaat banyak pula alumni yang lain yang seolah-olah terbebas dari belenggu aturan di ma’had dan kemudian secara utuh kehilangan identitas kesantriannya (kayak saya juga, terutama saat SMA). Seakan gemblengan selama 6 tahun hilang begitu saja, berganti dengan pencarian identitas dan pemaknaan hidup yang semu dalam trend serta mode yang ada di lingkungan barunya. Bahkan tidak jarang pula dari mereka yang kemudian kehilangan ruh dan kemauan untuk tetap istiqamah dalam melanjutkan aktivitas halaqahnya.

Tetapi tidak begitu dengan akhwat ini. Militansi nan menggebu-gebu terbina dalam wajihah aktivitasnya seakan bersinergi dengan tempaan tsaqafah dan pemahaman yang didapat semasa di ma’had. Amanah seakan silih berganti menggoda uluran tangannya, hingga suatu waktu sampailah beliau pada suatu ujian yang menguras energi ruhiyahnya hingga mencapai limit. Himpitan masalah yang sedemikian besar membuatnya gundah hingga titik yang tak tertahankan. Ditengah kegundahan itulah, ia coba untuk berhenti sejenak, menemukan sebuah tujuan pelarian dari kejaran bayang-bayang masalah yang menghantuinya tersebut. Dan… ia memutuskan untuk melarikan diri ke… Ma’had Husnul Khotimah.

Ia memutuskan untuk kembali kerumah yang telah sekian ia tinggalkan. Tanpa banyak pertimbangan, dipacunya mobil pribadinya, menyetir sendirian dirute antara jakarta-kuningan, ditengah malam tanpa ada rekannya yang tahu. Hanya dia dan perjalanan malam itu yang larut dalam perenungan, dengan tujuan satu… kembali ke rumah yang telah menggembleng dan memberinya banyak hal sebagai bekal kehidupan. Dan sampailah ia ke tujuannya di dini hari yang dingin menusuk, dengan segera melanjutkan perenungannya dalam raka’at-raka’at sunyi menjelang subuh. Baginya kini, tujuannya untuk menemukan perhentian sejenak ditengah hiruk-pikuk aktivitas rutinnya telah tercapai.

Ia datang ke rumah ini bukan untuk menanti wejangan dari ustazah-ustazah yang membinanya. Ia datang ke rumah ini bukan pula untuk menemukan wadah curahan hati diantara rekan-rekannya yang masih menetap disini untuk mengabdi pada Ma’had. Bahkan ia telah berniat untuk bungkam seribu bahasa tentang segala masalah yang tengah menimpanya saat itu. Semuanya karena sekali lagi, tujuannya kesini tak lebih hanya sekedar menemukan kembali suasana yang telah lama hilang dari derap langkah kesehariannya di Ibukota. Tidak lebih sedikitpun.

Namun… kedatangan si anak hilang di rumahnya setelah sekian lama ternyata segera disambut oleh kehangatan pelukan rekan-rekan dan ustadzah-ustadzahnya disana. Dan serta merta pertanyaan itu terungkap oleh saudari-saudarinya tersebut…

“Ukhti sedang punya masalah?”

“Ada yang bisa ana bantu ukh?”

“Jika ukhti punya masalah, ukhti bisa cerita ke kami.”

Ajaib!! Serta-merta bantuan yang sesungguhnya tidak ia harap-harapkan tiba-tiba datang begitu saja. Rengkuhan ukhuwah yang hangat tersebut akhirnya mampu melunakkan hatinya untuk mengungkapkan permasalahan yang sebenarnya masih sedemikian menghimpitnya. Para pendengar setia ini mendengarkan dengan seksama dan mencurahkan segala daya upaya mereka untuk meringankan gundah saudarinya ini. Singkat cerita… dengan energi baru yang berlipat-lipat, hati yang plong dengan solusi, ia kembali ke Jakarta dengan kondisi pikiran yang lebih segar. Siap menghadapi tantangan-tantangan baru di ruang-ruang aktivitasnya.

Kisah tersebut membawa kita pada sebuah perenungan, tentang apakah sebenarnya yang telah menggerakkan rekan-rekan dan ustadzah dari si Akhwat ini, sehingga mereka secara spontan dan naluriah segera dapat menyadari akan adanya masalah yang sedang melanda si Akhwat dan secara proaktif menawarkan bantuannya tanpa menunggu curahan hati si Akhwat. Padahal si Akhwatpun sejak awal tidak sedikitpun berniat untuk memberatkan pikiran saudari-saudarinya tersebut dengan masalahnya. Mungkin kita akan secara otomatis mengungkapkan satu kalimat: “Itu semua karena ukhuwah…”. Namun, apakah sesederhana itu penjelasan dari semua fenomena tadi? Apakah fenomena tersebut muncul begitu saja seiring kedekatan yang telah terjalin bertahun-tahun?

Sekarang aku coba mengajak kita semua untuk mungkin sedikit merenung tentang kejadian sejenis yang mungkin pula kita alami dengan bentuk yang berbeda. Mungkin kejadian-kejadian lain ketika kita merasakan adanya kemudahan dan bantuan yang tiba-tiba datang tanpa kita sangka-sangka. Momen-momen yang ternyata jika kita pikirkan lebih dalam, sebenarnya telah menyelamatkan diri kita dari lenyapnya hidayah yang bisa terjadi kapanpun tanpa kita mampu mengelaknya. Mungkinkah itu semuanya muncul begitu saja seiring semakin lamanya kita berinteraksi dengan rekan-rekan kita tersebut?

Satu ucapan akh Ginanjar yang segera menyentak pikiran saya…

Kita nggak akan pernah tahu kapan doa rabithah yang kita ucapkan akan terkabul!

Doa yang sedemikian fasih terucap dari lisan-lisan kita itu, yang mungkin saking seringnya diucapkan mungkin kerapkali terasa kosong tanpa ruh sehingga menjadi lantunan hafalan yang terucap spontan saja. Pernahkan terlintas dipikiran kita bahwa kemudahan-kemudahan dan bantuan-bantuan saudara-saudara kita seiman yang muncul di keseharian aktivitas kita mungkin saja merupakan jawaban Allah terhadap doa Rabithah kita selama ini? Akh Ginanjar pun melanjutkan dengan sedikit gurauan…

Bahkan mungkin doa-doa ma’tsurat kita semasa di pondok dulu yang ‘terpaksa’ kita ucapkan ba’da subuh dan maghrib karena telah menjadi acara wajib yang tidak bisa kita elakkan. Tanpa kita sadari doa itu mungkin telah terkabul dalam bentuk kemudahan-kemudahan yang kita rasakan, dan bantuan yang tidak kita sangka-sangka. Meskipun doa itu terucap setengah terpaksa keadaan.

Dari sinilah kemudian ada baiknya kita memaknai lebih dalam tentang doa yang begitu akrab dengan kita ini. Sesungguhnya jika kita renungkan doa tersebut lebih dalam dan apa yang terjadi dengan diri kita sebagai makhluk, maka kita temukan bahwa sesungguhnya faktor terbesar yang membuat kita tetap istiqamah dalam naungan diin-Nya mungkin bukanlah ikhtiar kita untuk senantiasa dekat dengan saudara-saudara kita, melainkan keridhaan dan kehendak Allah untuk tetap mempertemukan kita dengan saudara-saudara kita tersebut. Maka dari itu secara pemaknaan sendiri, doa rabithah ini sebenarnya terdiri dari dua bagian:

Bagian pertama:

Allahumma… Innaka ta’lam anna hadzihil quluub (Yaa Allah… sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini…)
qad ijtamaat alaa mahabbatik… waltaqqat ala Thaa’atik… (telah berkumpul dalam kecintaan pada Mu, dan bertemu dalam ketaatan kepada Mu…)
wa Tawahhadat ala da’watik… wa ta’aahadat nashrati syari’atik… (dan bersatu dalam dakwah/seruan Mu… dan berjanji/berikrar untuk membantu/memenangkan syari’at Mu…)

Pada hakikatnya bagian pembuka doa rabithah ini bukanlah suatu bentuk permohonan. Bagian ini sebenarnya suatu bentuk pengakuan seorang hamba terhadap ketentuan yang telah menjadi kehendak Allah terhadap dirinya dengan penuh kepasrahan dan keikhlasan. Bagian ini adalah pengakuan kita bahwa tidak ada kekuasaan apapun yang kita miliki sehingga kita berkumpul dalam jama’ah dan komunitas yang sama, melainkan karena keridhaan Allah terhadap keberadaan kita disini.

Selanjutnya, setelah kepasrahan yang kita berikan tersebut, di bagian kedua/akhir masuklah kita pada rangkaian permohonan:

fa watstsiqillahumma rabithatahaa…
wa adimmuddahaa… wahdiha subulahaa…
wamla’haa bi nuurikalladzi laa yakhbuu…
Wasyrah suduurahaa bi faidzil iimaanubik…
wa jamiilit tawakkuli alaik…
wa ahyihaa bi ma’rifatik…
wa amithaa ala syahaadati fii sabiilik…
wa amithaa ala syahaadati fii sabiilik…
wa amithaa ala syahaadati fii sabiilik…
innaka ni’mal maulaa… wa ni’mannashiir…

Kita memohon supaya ikatan hati yang kita rasakan ini dikekalkan oleh-Nya, dst…, dst…, hingga di permohonan pamungkas, kita meminta untuk dimatikan bersama saudara-saudara kita tersebut bersama-sama dalam predikat kematian tertinggi dan paling mulia, yaitu dalam kesyahidan. Sesungguhnya pada bagian ini kita tidak sedang mendoakan diri kita sendiri. Kita sedang mendoakan agar kita memperoleh kebaikan, dan kita ingin agar saudara-saudara kita menerima kebaikan yang sama baiknya (dan bahkan mungkin lebih). Ditengah ucapan (yang semoga kita ucapkan dengan) tulus pada fragmen terakhir itulah, sesungguhnya kita sedang berusaha berikhtiar menempatkan diri kita dalam tingkatan ukhuwah tertinggi, yaitu itsar. Memberikan permohonan terbaik kita disela-sela doa harian kita bagi mereka, saudara-saudara yang kita coba untuk jauh lebih kita cintai dibanding diri kita sendiri.

Dan pertanyaan penutup… sudahkah perasaan kita menyertai permohonan yang terucap dalam doa kita tersebut?

Ardee’est Things in My Life
[Menjelang dzuhur, Ganesha, 31 Mei 2008]
Teruntuk saudara-saudaraku, Uhibbukum Ahsanu Mahabbatu Fillah

Negeri Penghutang Bermobil Mewah

Saya tiba-tiba tertarik untuk memberi komentar terhadap artikel milik “Jagoan Saya” ini. Berkaitan seputar kesemrawutan lalu lintas kota bandung dan juga isu Pengurangan “Subsidi” (yang menurut pak Kwik sebenarnya mengada-ada) BBM, menurut saya pembatasan tempat parkir bukan suatu solusi yang tepat, setidaknya untuk menjawab dua masalah sekaligus. Bagaimanapun saya pikir sumber masalahnya adalah terlalu banyaknya jumlah kendaraan yang dimiliki penghuni Republik indonesia. Jadi solusinya (edited)…

Menurut saya yang harus dibatasi bukan parkirannya pak… Tapi jumlah kendaraannya.

Nyambung dengan kasak-kusuk akhir-akhir ini soal BBM dan Bantuan Langsung Tewas (karena rebutan) sebenarnya langkah pengurangan subsidi yang dilakukan pemerintah bisa kita nilai sebagai kebijakan yang tidak perlu terjadi.

Ahmadinejad bisa membuat subsidi BBM bagi masyarakatnya hingga dibawah Rp. 1000/L, tetapi dengan konsekuensi logis, jumlah kendaraan dikurangi (diantaranya kebijakan 1 keluarga 1 mobil, pelarangan penggunaan mobil tua dan pengetatan peraturan kepemilikan mobil baru). Kebijakan penaikan harga BBM oleh pemerintah menurut saya hanya menambah ironi yang terlihat dari bangsa ini.

Saat mahasiswa, karyawan dan buruh berdemo protes kenaikan harga BBM, ternyata banyak juga masyarakat yang protes karena kendaraan pribadinya terjebak macet karena demo tersebut. Padahal kalau jumlah kendaraan pribadi bisa direduksi dan fasilitas transportasi umum bisa dibenahi, kemacetan bisa hilang dengan sendirinya.

Wajarlah jika kemudian bangsa yang miskin fisik dan moral ini membuat orang luar terbengong-bengong. Saat mereka ingin mengucurkan ‘bantuan’ a.k.a hutang, yang mereka temui adalah serombongan pejabat berjas diatas mobil berkursi empuk dan sejuk ala selebritis. Padahal mereka sendiri hanya naik transportasi umum.

Jadi, masalahnya sekarang jumlah kendaraan atau luas area parkir di Bandung?

Seandainya Pemerintah Kita Tidak Tuli…

Saya baca artikel ini, dan merasa perlu memberikan tanggapan seperti dibawah ini (Siapa tau orangnya menolak komentar saya):

Wallahu A’lam ya…
Saya termasuk yang pro terhadap Demonstrasi dengan banyak argumen:

Pertama, karena pengungkapan aspirasi paling murah dan dapat menggugah perhatian orang banyak adalah demonstrasi. Yakinlah mas, mau sekeren apapun konsep dan solusi yang anda buat untuk masalah bangsa ini, kalo anda nggak bisa menyampaikannya pada pejabat kita yang tuli dan mati hati di jakarta sana maka konsep anda sampai kapanpun hanya sekedar tumpukan kertas.
Kedua, mahasiswa dan demonstran itu bukan selebritis mas, temen2 kita yang buruh juga bukan artis. Tapi mereka punya aspirasi untuk pemerintah/legislatif. Apa anda pikir jika mereka ngirim perwakilan ke Istana/DPR suara mereka akan didenger? NGGAK mas! Kenyataan dilapangan: Kalo aspirasi kita-kita yang rakyat kecil ini mau didenger, nggak ada jalan lain bahwa Demonstrasi lah sarananya.
Ketiga, masalah kemudian banyak efek samping dari demonstrasi seperti kemacetan dan kerusuhan, itu sih balik lagi ke para demonstran dan manajemen massanya. Bukti nyatanya bahwa demonstrasi itu tidak selalu berefek buruk ada kok. Coba anda perhatikan kalo Kader PKS (bahkan sejak 1999 masih bernama PK) turun kejalan, sudah hampir dipastikan polisi udah nggak dibutuhkan di jalanan untuk menjaga ketertiban demo. Mereka udah bisa mengatur diri mereka sendiri.
Jadi kesimpulannya… ‘DEMO = Rusuh + Macet’ itu nggak benar…

Saya ingin menutup posting ini dengan 3 buah lagu aksi yang sampai sekarang masih melekat dihati:

Lagu pertama adalah lagu yang paling sering digunakan pada Aksi kabinet KM ITB masa Presiden Ahmad Mustofa hingga Anam:

Kepada para mahasiswa, yang merindukan kejayaan…
Kepada rakyat yang kebingungan, dipersimpang jalan…
Kepada pewaris peradaban, yang telah menggoreskan…
sebuah catatan kebanggaan, dilembar sejarah manusia…

wahai kalian yang rindu kemenangan, wahai kalian yang turun kejalan
demi mempersembahkan jiwa dan raga, untuk negeri tercinta (2X)

Lagu kedua, kreasi dari rekan-rekan aktivis kiri. Tapi pesan dan semangat yang dibawa sebenarnya universal:

Buruh, Tani, Mahasiswa, Rakyat Miskin Kota

Buruh tani mahasiswa rakyat miskin kota
bersatu padu tuntut perubahan
bersatu tekad dalam satu suara
demi tugas suci yang mulia

Hari-hari esok adalah milik kita
terciptanya masyarakat sejahtera
terbentuknya tatanan masyarakat
Indonesia baru tanpa orba

marilah kawan mari kita berjuang
di tangan kita tergenggam arah bangsa
ayolah kawan ayo kita dendangkan
sebuah lagu tentang perubahan

di bawah topi jerami
kususuri garis jalan ini
berjuta kali turun aksi
bagiku suatu langkah pasti

di bawah topi jerami
kususuri garis jalan ini
berjuta kali turun aksi
bagiku suatu langkah pasti

berjuta kali turun aksi
bagiku suatu langkah pasti

Buruh tani mahasiswa rakyat miskin kota
bersatu padu tuntut perubahan
bersatu tekad dalam satu suara
demi tugas suci yang mulia

Hari-hari esok adalah milik kita
terciptanya masyarakat sejahtera
terbentuknya tatanan masyarakat
Indonesia baru tanpa orba

marilah kawan mari kita berjuang
di tangan kita tergenggam arah bangsa
ayolah kawan ayo kita dendangkan
sebuah lagu tentang kebebasan

di bawah rezim tirani
kususuri garis jalan ini
berjuta kali turun aksi
bagiku suatu langkah pasti

di bawah rezim tirani
kususuri garis jalan ini
berjuta kali turun aksi
bagiku suatu langkah pasti

berjuta kali turun aksi
bagiku suatu langkah pasti

bagiku suatu langkah pasti

Lagu ketiga, kebanggaan mahasiswa ITB. Judulnya Kampusku, sebuah simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan militer terhadap mahasiswa selama orde baru. Sekarang jadi simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan rektorat terhadap kreativitas mahasiswanya:

“Kampusku rumahku, Kampusku negeriku
Kampusku kebebasanku, Kampusku wahana kami

Di sana kami DIBINA, menjadi MANUSIA DEWASA
Namun kini apa yang terjadi, ditindas semena-mena

Berjuta Rakyat menanti tanganmu, mereka lapar dan bau keringat
Kusampaikan salam-salam perjuangan, kami semua cinta-cinta Indonesia.”

Semoga jadi janji yang tidak akan pernah mati:
SALAM GANESHA!! BAKTI KAMI, UNTUKMU TUHAN, BANGSA DAN ALMAMATER! MERDEKA!

Dosen Blogger vs Dosen Blogger

Dosen Blogger vs Dosen Blogger di Pilkada Bandung

Alhamdulillah, akhirnya setelah bertanya-tanya beberapa minggu ini, akhirnya terjawab sudah siapa yang akan diusung oleh si Bulan Sabit Kembar a.k.a Kupu-Kupu Emas pada pilwakot Bandung 2008 ini. Dan ternyata benar sesuai dugaan saya, Om Taufik (Dr. Taufikurahman, dosen SITH ITB) akhirnya di perkenalkan sebagai calon Walikota Bandung dari Partai Keadilan Sejahtera. Meski belum ada kabar pasti tentang siapa yang akan mendampingi beliau, namun setidaknya sudah ada kepastian bahwa PKS tidak akan mendukung Walikota Incumbent Dada Rosada (inget Tek-tek-dung-dung-tek). Kabar ini juga sekaligus menambah jumlah bakal pasangan calon Walikota-wakil walikota dari kalangan Akademisi Institut Teknologi Bandung setelah sebelumnya pak Arry Akhmad Arman dosen STEI yang juga anggota Laskar Blogger Dosen ITB juga maju melalui jalur independen.

Berhubung pak Taufik paman saya sekaligus dosen saya di SITH, yaa… saya ‘terpaksa’ mendukung beliau. Tetapi siapapun yang saya dukung, saya cenderung mendukung seorang blogger sebagai calon walikota/kepala daerah. Kenapa? Karena saya juga seorang blogger, dan saya menilai sosok blogger memiliki kepekaan lingkungan yang lebih tinggi ketimbang mereka yang jarang menuliskan isi pikirannya dan membaginya kepada orang banyak. Meski mendukung pak Taufik, tetapi saya juga berharap bahwa pak Syinar dan Pak Arry mampu meraih dukungan 80000 suara agar dapat lolos verifikasi sebagai calon independen.

Jika hal ini benar terjadi, maka ada dua dosen blogger yang akan berkompetisi melawan Si Walikota Uzur. Hal ini tentunya memunculkan suatu harapan baru untuk masyarakat bandung secara umum dan blogger Bandung secara khusus. Blogger dengan karakternya sebagai sosok jurnalis independen dan pengusung kebebasan berpendapat setidaknya dapat diharapkan untuk bisa memberi warna baru dalam struktur birokrasi kota bandung ini. Para blogger yang kepekaannya senantiasa terasah dengan mengungkap fenomena lingkungan dan sosial kedalam wujud tulisan yang bebas dibaca orang banyak setidaknya lebih bisa diharapkan akan menghasilkan kebijakan pro-rakyat dan lebih peduli pada agenda pemberantasan korupsi.

Saya sendiri berharap bahwa meski berbagai survei menjagokan Tek Tek Dung Dung Tek untuk kembali menduduki kursi Bandung 1, pilkada kali ini dapat menjadi sarana pencerdasan politik bagi warga bandung. Setidaknya masyarakat bisa diajak lebih berpikir kritis dan tidak pragmatis terhadap nasib politik kota bandung kedepan. Kekecewaan terhadap pemerintahan sebelumnya sah-sah saja, tetapi semoga hal ini tidak membuat masyarakat keburu putusasa dan memilih golput sebagai solusi. Mengutip ucapan seorang ustadz yang juga anggota DPRD kuningan: “Nggak ada jalan lain… Kita nggak bisa terlalu mengharapkan kerjasama dengan mereka (partai-partai korup). Negara ini hanya bisa bersih jika dipegang oleh kalian… Negara ini hanya bisa bersih jika dipegang oleh mereka yang percaya sama neraka dan hari akhir!!“.

Sedikit press release dan kabar seputar pencalonan pak taufik:

Ya Allah, setidaknya…

Akhir-akhir ini saya tiba-tiba takut ketemu jalan raya. Bukan lantaran punya pengalaman dipalak ato trauma karena pernah kena musibah di jalan raya, tapi nggak tau kenapa begitu ada di jalan raya saya langsung inget sama kematian. Bawaannya paranoid aja kalo udah ketemu jalanan semisal mau naik angkot ato nyebrang jalan. Saya sendiri nggak masalah dengan paranoia yang saya rasakan itu, Justru Alhamdulillah malah ada hikmahnya juga ternyata. Sekarang, kalo mo nyebrang jalan, naik angkot, atau turun angkot, Alhamdulillah spontan aja saya mengucap basmalah.

Takut mati sih nggak, cuman sedikit waswas kalo-kalo saya lupa baca basmalah trus terjadi apa-apa. Coba kalo ternyata tiba-tiba saya ketabrak angkot, keserempet truk ato seringan-ringannya nyemplung ke galian kabel. Mending kalo cuma celana robek, kena air comberan, ato ada lecet,luka, ato patah tulang, lha… kalo justru menemui ajal disitu, bisa gawat! Bisa-bisa keancam nggak husnul khotimah… walaupun pernah mesantren 4 taon di pesantren bernama Husnul Khotimah.

Hal ini ternyata kebawa-bawa juga selama perjalanan ke Kuningan dua minggu lalu dan Ciamis ahad kemarin. Diatas Elf (Angkot segede L300) antara tegallega-ciamis basmalah dan istighfar itu spontan aja keucap sepanjang perjalanan. Kebayang kan, gimana rasanya kalo bus ngebut itu ‘goyangannya’ kayak gimana? Nah… berhubung bodinya yang lebih kecil dan manuvernya yang lebih lincah, Elf yang beraksi di jalanan goyangannya kerasa lebih parah lagi. Apa lagi kalo udah lewat tikungan dan si supir ngebut seenaknya, kayaknya nyebut doa safar berulang-ulang serasa kurang apdol.

Campur aduknya perasaan antara mabok-puyeng karena goyangan si Elf dan bayangan kematian yang seakan-akan udah siap menjelang kalo lagi papasan dengan bus ato truk udah sulit dibedain. Tapi mungkin saking udah pasrahnya, rasa takut mati justru udah ilang. Sempet juga ada bayangan-bayangan berkelebat, diikuti pertanyaan

“Ya Allah… aku masih sempet nikah nggak ya?”

Tapi terus tiba-tiba pertanyaan itu berubah jadi permohonan…

“Ya Allah, please dunk… aku mohon banget… Setidaknya berikan aku mati syahid kalau engkau berkehendak aku mati disini…” dan tiba-tiba perasaanku lebih plong walaupun mulutku tetep nggak mau berhenti komat-kamit mengucap basmalah berulang-ulang.

Ternyata pengalaman mengingat maut itu belum berakhir sampe aku turun Elf sodara-sodara! Aku turun di desa Lumbung Sari, Kecamatan Lumbung, Ciamis. Tau nggak pemandangan apa yang pertama aku temui disitu? Ternyata ada yang baru aja meninggal sepertinya baru akan segera dishalatkan sedang aku diturunkan pas didepan masjid desa. Jadi, kesimpulannya… yang pertama kali kulihat adalah keranda mayat yang sedang dibawa oleh rombongan laki-laki diikuti oleh ibu-ibu yang membawa makanan dalam panci.

Sedikit hikmah yang bisa kuambil dari fenomena tersebut, orang desa lebih baik hati ketimbang orang kota. Hah… dapet dari mana tuh kesimpulan? Ternyata begini, kalo di kota, biasanya keluarga yang berduka cita kadang jadi direpotkan dua kali lipat lantaran selain harus mengurus jenazah juga harus menjamu pelayat. Kalo disini… begitu ada yang meninggal, tetangganya langsung melayat sambil membawa makanan kerumah duka untuk dimakan bersama. Setidaknya kulihat hal ini meringankan penderitaan dan kerepotan pihak keluarga yang ditinggalkan.

Sebenernya pengalaman menegangkannya bukan disitu… tapi beberapa saat setelah aku kabur dari kerumunan itu, solat di mesjid yang lain dan tepar ketiduran saking capeknya serta maboknya naik Elf tadi. Si bapak Doli yang jadi alasanku ke ciamis ini ternyata tidak disitu, tetapi sedang berada dikolam yang letaknya di desa yang berbeda. Aku dianter oleh seorang bapak-bapak yang nyaris nggak bisa bahasa selain bahasa sunda ciamis. Bahasa Indonesianya asli terbata-bata secara sah dan meyakinkan. Aku cuma bisa tersenyum dan ber “he-eh… he-eh…”ria sepanjang perjalanan, sambil meringis setiap tikungan yang kami lewati. Halah… gimana nggak? Dengan kondisi jalan penuh tikungan yang mendaki gunung, lewati lembah ala ninja hattori, si bapak itu membawa motornya miring ekstrim kayak Valentino Rossi yang biasa kita liat di tipi-tipi. Ya ampun… Ya Allah… please lah… seenggaknya kalo aku mati… tolong dunk… lurusin niatkuuu! Niatku lurus kan ya Allah? Aku kesini dalam rangka ngurus TA-ku… Jadi please ya Allah… setidaknya matikan aku dalam syahid!!!

Dan ternyata ekspresi kusut dan mabokku ini jelas terlihat sama rombongannya pak Doli. Disitu kulihat Dosen Pembimbingku -Bu Pingkan- serta putrinya yang [sayangnya] masih SMP, Pak Indra Jati (Dosen Sipil yang Eks. Dirjen Dikti), Pak Doli beserta anak istrinya. Mereka sedang melihat kolam tempat uji coba pakan organik untuk ikan. Selain itu ada juga Pak Ajat, Pak Usup dan beberapa petani ikan lokal yang dibina sama Pak Doli. Setidaknya 5 kali aku ditanya dengan pertanyaan yang sama oleh 5 orang yang berbeda. Pertanyaannya: “Kamu capek yah?”. Berjam-jam kemudian, setelah aku sampe di Husnul Khotimah dan ketemu cermin baru aku nyadar seberapa kusutnya tampangku.

Ngomong-ngomong soal Husnul khotimah, aku jadi inget satu moment zikrul-maut lagi. Kolam ikan dan Rumah Pak doli letaknya ada di desa Panawangan, beberapa puluh kilo dari perbatasan Ciamis-Kuningan. Jarak dari Kuningan yang nggak seberapa jauh (hehehe… belom tau dia…) menerbitkan ide untuk mampir ke Husnul Khotimah dan pulang via jalur Cirebon – Majalengka – Sumedang. Nah… berhubung baru pertama kali  ngejajal daerah sini, aku baru tahu, jalan antara Ciamis-Kuningan itu berkelok-kelok dengan tanjakan yang curam kayak daerah puncak bogor. Aku juga baru tahu kalo supir bus di rute ini ugal-ugalannya minta ampun.

Saat itu sudah sekitar jam setengah 7 malam. Aku yang jadi penumpang ngerasain seakan bus itu lebih cocok disebut ‘ngesot’ ketimbang ‘ngebut’. Saking gedenya gaya sentrifugal (*halah* bener gak ya?) yang sanggup membuat pantatku bergeser kesana-kemari di kursi berderet 3 yang kosong. Udah nggak kepikiran lagi untuk tidur saat itu. Disini, bukan cuma basmalah lagi yang terucap. Setiap tikungan aku mengucap istighfar berulangkali. Ya Allah… seenggaknya kalau memang aku nggak sempet mendapatkan bidadari dunia… setidaknya segerakan aku bertemu dengan bidadari akhiratmu ya Allah…

Dan ternyata setelah doa itu ku ucap, aku ketiduran…

[Ambil Hikmahnya Aja] Yos gak pantes jadi Presiden!!

Menyikapi kekalahan tim thomas tadi malam, saya pikir sutiyoso sebagai ketua PBSI dan tentu saja mantan gubernur jakarta memang nggak ada pantes-pantesnya jadi presiden RI… Jadi semoga kekalahan piala thomas ini sudah cukup menjadi warning bagi kita semua untuk tidak percaya pada pendahulunya si kumis baplang yang sekarang mimpin jakarte. Semoga juga pada inget ketika menjelang lepas jabatan tiba-tiba satpol PP melakukan beberapa aksi penggusuran kayak kejar setoran, diantaranya penggusuran sebuah komplek rumah susun di klender (kalo nggak salah). Yah… kalo sampe tuh mantan pangdam jadi presiden, kira-kira siapa aja ya yang bakal kena gusur? Mungkin saya… atau jangan-jangan malah anda. Jadi jangan coba-coba deh milih eks-militer ini.

Blogger Review: Taufikurahmans Park

Nama saya “Taufikurahman”, tiga belas huruf, dengan “k” (bukan “q”), dan satu “r”. Kenapa perlu penekanan demikian ? karena sering saya menjumpai orang tidak tepat menulis nama saya. Lucunya dengan tiga belas huruf bersambung itu, saya menjumpai tidak jarang orang salah menyebutnya, sehingga yang terbaca: “Taifukurahman” ( capek deh…

Begitu kira-kira pak Taufik memperkenalkan dirinya diblognya. Unik juga ceplas-ceplos Dosen yang juga Paman saya ini. Blognya tersebut membahas berbagai hal dari isu lingkungan, kuliah yang di ajarkan hingga masalah politik. Saya sendiri baru sekitar 2-3 bulan lalu mengetahui bahwa beliau juga ngeblog. Pengalaman menggembirakan juga bisa bertemu dosen dengan cara yang berbeda, melalui media blog yang relatif lebih tanpa batas.

Saya ingat, pertama kalinya saya menemukan blog beliau, saya langsung ‘say hi’ dan meninggalkan jejak komentar blog tersebut. Ternyata kunjungan saya tersebut juga dibalas, dan beliau sempat beberapa kali berkomentar di blog ini. Komentar ceplas-ceplos yang hangat dan ringan mungkin bisa menjadi ciri khas beliau. Setidaknya hal itu yang anda temukan dalam tanggapan beliau pada komentar dari para pengunjung blognya.

Sebagai seorang akademisi, beliau sempat menjadi sorotan publik saat dengan tegas mendukung teori Dr. Harun Yahya yang menggugurkan teori Evolusi Darwin. Hal ini kemudian memunculkan sikap pro-kontra dari berbagai pihak. Sikap kontra diantaranya disuarakan oleh Dr. Wildan Yatim dari UNPAD, yang sempat dipublikasikan di koran kompas. Terlepas dari pro kontra tersebut, saya berpendapat bahwa dialektika ilmiah ini sebagai suatu kewajaran dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Baik pendukung darwinian atau harunian masing-masing memiliki argumennya sendiri, yang bukan tidak mungkin, seiring berkembangnya IPTEK dimasa depan, salah satu diantaranya akan digugurkan oleh yang lain, atau justru bisa saja tumbang oleh teori yang lebih mutakhir.

Isu lain yang beliau soroti diantaranya seputar konsep utopis PLTSA yang diusung sang Walikota Incumbent Dada Rosada (khas sunda sekali, namanya berirama ‘Tek-Tek-Dung-Dung-Tek’ seperti juga Cecep Suracep, Maman Surahman, Toto Kasmanto, Dodol Surodol, dll). Isu ini juga mengundang kontroversi setelah tiba-tiba saja di sudut-sudut jalan muncul spanduk yang mengklaim dukungan warga bandung terhadap rencana aneh Pemkot (sebenarnya rencananya atau pemkotnya yang aneh?) tersebut. Lucunya, spanduk-spanduk itu terlihat seragam dan hanya berbeda wilayah warga yang di klaim. Propaganda yang aneh dari si Incumbent.

Beliau yang saya kenal juga cukup concern pada isu seputar politik kepemerintahan. Ketua KALAM (Keluarga Alumni Salman ITB) regional Jabar (Bandung) ini ikut menyoroti masalah pengelolaan pasar tradisional diwilayah bandung yang beliau nilai dikesampingkan oleh pemkot yang terlihat lebih pro terhadap perkembangan supermarket dan mall yang berpotensi mematikan para pedagang kecil. Selain itu, pembina asrama mahasiswa PPSDMS Nurul Fikri regional Bandung ini juga memperhatikan masalah pendidikan, diantaranya biaya masuk sekolah yang kian melambung di ibukota Jawa Barat ini.

Sedikit sebagai penutup tulisan ini, ada satu tulisan ayah dari 4 putri dan 1 putra ini yang ingin saya kutip. Gaya membungkus cerita yang ringan untuk isu calon independen pada pilkada bandung yang akan segera berlangsung cukup unik untuk disimak. Berikut kutipannya:

Bagaimana kalau semua calon independen tersebut ternyata bisa memenuhi persyaratan mengumpulkan tanda tangan dukungan dan fc KTP para pendukungnya sebanyak 3 % dari total populasi Bandung yang 2,4 juta jiwa, yakni sekitar 60-70 ribu dukungan ? Itu tentunya sebuah jumlah yang lumayan banyak euy… Bila hal tersebut terjadi, wah heboh juga ya, pilkada pertama di Indonesia yang mengikut sertakan calon perorangan diiikuti oleh sebanyak 35 pasang calon… “gubrak” ! Sejauh ini sih baru ada satu pasang yang sudah meng-claim sudah mengantongi 70 ribu pendukung… hebat euy.

Jika jumlah calonnya buanyak (more than sekedar ‘banyak’), kebayang kertas suara yang akan dibuat akan buegitu luebar dan puanjang (remember: luebar x puanjang = luuuuas !) seperti pemilu partai yang lalu dan mugkin juga yang akan datang…. kasihannya aki-aki jeung nini-nini nu bakal ripuh ngalipet kertas suara di bilik nu leutik saukuran kandang itik atawa kikirik atawa jangkrik 🙂  halah…. capek dech !

Saya nggak bisa menahan tawa saat membaca tulisannya ini. Walaupun saya nggak bisa ngomong sunda selain nanaon, punten, nuhun dan sejenisnya, tapi tulisan ini cukup ngena untuk menggambarkan bahwa akan sangat merepotkan jika ternyata pilkada kali ini terlalu penuh (sekali lagi TERLALU PENUH) dengan calon independen.  Bisa dibayangkan bagaimana lueeeeebar dan puaaaaannjangnya kertas suara yang harus di sediakan KPUD agar semua calon tersebut muat.

Indrie…

Pagi ini bermula nyaris biasa-biasa saja. Sama seperti hari-hari biasa, aku telat shalat subuh karena ketiduran abis witir. Halah, niatnya nambah pahala malah bablas. Setelah rutinitas pagi, mengejar nasi goreng salman yang berakhir dengan kegagalan, akupun beranjak bersiap akan kekampus. Aku mampir sebentar kemasjid, disitulah aku menerima sms dari ninda yang isinya mengabarkan bahwa pagi ini akan ada aksi. Aku segera beranjak ke gerbang, dan benarlah… jas almamater sudah mulai terlihat disana-sini.

“Akh, antum ikut aksi ya… ” Gilang segera menyambarku.

“Oke lah, tapi saya nggak bawa jas almamater euy…” jawabku, malasku segera hilang saat itu juga.

“Gampang lah, kita ada cadangan kok.” jawabnya kemudian.

Saat itu rombongan baru beberapa belas orang. Aku sebenarnya sudah nggak sabar menunggu. Berhubung sebenarnya agak gatel juga, kangen turun kejalan seperti Kabinet era Tove, Anas dan Anam. Sambil menunggu aku mencari bahan obrolan dengan beberapa orang, dan… Iyan pun datang. Akhirnya kita kembali bicara masalah Akreditasi untuk ikut DM2 KAMMI. Aku sih sebenarnya udah nyerah, berhubung besok deadline akreditasinya. Aku bilang kedia bahwa aku berencana ikut DM2 di kamda Jakarta saja.

Tiba-tiba…

“Pharao!!” seorang wanita yang suaranya kukenal tiba-tiba memanggilku.

“Indriiii…!!” Aku berteriak nggak percaya dengan siapa yang kulihat.

Indrie, ya… Indrie, salah satu teman terdekatku saat SMA dulu (lihat “Cerita Tentang Vie“). Penampilannya nyaris masih sama seperti dulu saat kami berpisah setelah SPMB. Ia kuliah di seberang pulau, kampus UNILA jurusan Kimia. Sudah nyaris 5 tahun kami tidak bertemu, aku kehilangan kontak sama sekali dengannya. Bahkan pada suatu kesempatan di masa liburan kudatang ke rumahnya, aku tidak dapat bertemu karena liburan itu ia tidak pulang kampung. Sama sekali nggak kami sangka-sangka, setelah selama ini, justru akhirnya kami bertemu di sini… Dikampusku… di Institut Teknologi Bandung.

Ah… setelah sekian lama, Indrie yang kukenal masih seperti dulu. Harus kuakui ada saat-saat dimana memori saat kami bersama di Moonzher kembali muncul, membuatku ingin kembali ke masa-masa itu. Masa-masa tanpa beban dimana Aku, Tora, Yuni, Erni dan Indri masih berkumpul bersama, ngerjain tugas kelompok bersama, bikin yell-yell konyol bersama, cerita tentang gebetan ato artis idola masing-masing. Dan satu hal yang masih membekas adalah lagu-lagu westlife yang menjadi favorit indrie. Aku jadi ikutan hafal walaupun sejujurnya aku tidak terlalu menyukai boyband.

Tiba-tiba semua kenangan itu kembali menyeruak seakan terpanggil oleh sosoknya itu. Ia telah lulus dari studi S1-nya. Sekarang ia sedang mendaftar untuk mengambil S2 di kampusku yang super duper keren ini. Meski penampilannya masih nyaris sama seperti dulu, kami masing-masing telah tumbuh di dua lingkungan yang berbeda. Alhamdulillah, aku kembali ‘terjerumus’ dalam pelukan cinta dan ukhuwah di lingkar-lingkar halaqah, setelah selama 3 tahun di SMA hal itu menjadi suatu hal yang hilang dari hidupku. Belum banyak hal yang bisa kueksplorasi dari pengalamannya sepanjang 5 tahun ini. Aku hanya bisa berharap ia dapat lulus seleksi pendaftaran pasca sarjana, sehingga dapat melanjutkan studinya di sini.

Entahlah… aku tidak dapat mendeterminasikan bagaimana perasaanku secara persis saat kelas 1 SMA dulu. Beberapa teman lain juga menganggap bahwa hubungan kami terlalu dekat jika hanya sebatas teman. Meski begitu, backgroundku yang mesantren semasa MTs dulu memberikan sekat yang tidak ingin kulewati. Namun jujur, secara manusiawi sesuatu yang lebih dalam dari sekedar pertemanan sempat muncul tahun pertama kami sekelas. Walaupun begitu, as far as I know, kami berdua sama-sama menganggap bahwa kami hanya teman biasa saja.

Pada pertemuan tadi pagi tak banyak yang bisa kami obrolkan, hanya sedikit tentang kabar teman-teman kami, cerita soal adiknya yang kini di Seni Rupa ITB, cerita soal ibunya yang melihat sosokku sedang berkeliaran dikampus serta tak lupa bertukar nomor HP. Darinya Aku mendapat kabar terbaru soal salah satu teman kami dulu… Erni menikah!! Kuingat ia sempat bilang: “Gile nih, temen-temen gue udah pada nikah, gue aja sampe sekarang belom ada pacar.” Aku cuma bisa tersenyum datar mengingat apa yang ku jalani sekarang, bingung.

“Lo mo datang gak Rao?” tanyanya.

“Yah, gue sih pengennya dateng Drie. Tar lo calling2 gue lah, biar kita barengan kesananya.” jawabku.

Dan penggalan percakapan itu menjadi akhir perjumpaan kami. Perjumpaan yang membawaku pada perenungan panjang tentang masa lalu, hari ini dan masa depan. Semua hal yang kini masih tersimpan sebagai misteri dibalik kehidupanku yang berjalan entah akan kemana.

Banner dukungan Calon Independen

Sedikit utak-atik banner yang semoga ada manfaatnya dalam pensuksesan pasangan independen SYNAR untuk dapat lolos verifikasi dalam pemilihan walikota Bandung. Banner ini dibuat sebagai dukungan PRIBADI dan tidak mengatasnamakan komunitas atau golongan tertentu. Blogger ITB for CaWalKot Bandung!

<a href=”http://bandungindependen.wordpress.com/”><img class=”alignnone size-medium wp-image-376″ title=”pilkada1″ src=”http://ardee.cmsku.org/wp-content/uploads/pilkada1.jpg” alt=”” width=”192″ height=”85″ /></a>

<a href=”http://bandungindependen.wordpress.com/”><img class=”alignnone size-medium wp-image-377″ title=”pilkada2″ src=”http://ardee.cmsku.org/wp-content/uploads/pilkada2.jpg” alt=”” width=”192″ height=”85″ /></a>

<a href=”http://bandungindependen.wordpress.com/”><img class=”alignnone size-medium wp-image-378″ title=”pilkada3″ src=”http://ardee.cmsku.org/wp-content/uploads/pilkada3.jpg” alt=”” width=”192″ height=”85″ /></a>

<a href=”http://bandungindependen.wordpress.com/”><img class=”alignnone size-medium wp-image-379″ title=”pilkada4″ src=”http://ardee.cmsku.org/wp-content/uploads/pilkada4.jpg” alt=”” width=”192″ height=”85″ /></a>

<a href=”http://bandungindependen.wordpress.com/”><img class=”alignnone size-medium wp-image-380″ title=”pilkada5″ src=”http://ardee.cmsku.org/wp-content/uploads/pilkada5.jpg” alt=”” width=”192″ height=”85″ /></a>