Nama saya “Taufikurahman”, tiga belas huruf, dengan “k” (bukan “q”), dan satu “r”. Kenapa perlu penekanan demikian ? karena sering saya menjumpai orang tidak tepat menulis nama saya. Lucunya dengan tiga belas huruf bersambung itu, saya menjumpai tidak jarang orang salah menyebutnya, sehingga yang terbaca: “Taifukurahman” capek deh…
Begitu kira-kira pak Taufik memperkenalkan dirinya diblognya. Unik juga ceplas-ceplos Dosen yang juga Paman saya ini. Blognya tersebut membahas berbagai hal dari isu lingkungan, kuliah yang di ajarkan hingga masalah politik. Saya sendiri baru sekitar 2-3 bulan lalu mengetahui bahwa beliau juga ngeblog. Pengalaman menggembirakan juga bisa bertemu dosen dengan cara yang berbeda, melalui media blog yang relatif lebih tanpa batas.
Saya ingat, pertama kalinya saya menemukan blog beliau, saya langsung ‘say hi’ dan meninggalkan jejak komentar blog tersebut. Ternyata kunjungan saya tersebut juga dibalas, dan beliau sempat beberapa kali berkomentar di blog ini. Komentar ceplas-ceplos yang hangat dan ringan mungkin bisa menjadi ciri khas beliau. Setidaknya hal itu yang anda temukan dalam tanggapan beliau pada komentar dari para pengunjung blognya.
Sebagai seorang akademisi, beliau sempat menjadi sorotan publik saat dengan tegas mendukung teori Dr. Harun Yahya yang menggugurkan teori Evolusi Darwin. Hal ini kemudian memunculkan sikap pro-kontra dari berbagai pihak. Sikap kontra diantaranya disuarakan oleh Dr. Wildan Yatim dari UNPAD, yang sempat dipublikasikan di koran kompas. Terlepas dari pro kontra tersebut, saya berpendapat bahwa dialektika ilmiah ini sebagai suatu kewajaran dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Baik pendukung darwinian atau harunian masing-masing memiliki argumennya sendiri, yang bukan tidak mungkin, seiring berkembangnya IPTEK dimasa depan, salah satu diantaranya akan digugurkan oleh yang lain, atau justru bisa saja tumbang oleh teori yang lebih mutakhir.
Isu lain yang beliau soroti diantaranya seputar konsep utopis PLTSA yang diusung sang Walikota Incumbent Dada Rosada (khas sunda sekali, namanya berirama ‘Tek-Tek-Dung-Dung-Tek’ seperti juga Cecep Suracep, Maman Surahman, Toto Kasmanto, Dodol Surodol, dll). Isu ini juga mengundang kontroversi setelah tiba-tiba saja di sudut-sudut jalan muncul spanduk yang mengklaim dukungan warga bandung terhadap rencana aneh Pemkot (sebenarnya rencananya atau pemkotnya yang aneh?) tersebut. Lucunya, spanduk-spanduk itu terlihat seragam dan hanya berbeda wilayah warga yang di klaim. Propaganda yang aneh dari si Incumbent.
Beliau yang saya kenal juga cukup concern pada isu seputar politik kepemerintahan. Ketua KALAM (Keluarga Alumni Salman ITB) regional Jabar (Bandung) ini ikut menyoroti masalah pengelolaan pasar tradisional diwilayah bandung yang beliau nilai dikesampingkan oleh pemkot yang terlihat lebih pro terhadap perkembangan supermarket dan mall yang berpotensi mematikan para pedagang kecil. Selain itu, pembina asrama mahasiswa PPSDMS Nurul Fikri regional Bandung ini juga memperhatikan masalah pendidikan, diantaranya biaya masuk sekolah yang kian melambung di ibukota Jawa Barat ini.
Sedikit sebagai penutup tulisan ini, ada satu tulisan ayah dari 4 putri dan 1 putra ini yang ingin saya kutip. Gaya membungkus cerita yang ringan untuk isu calon independen pada pilkada bandung yang akan segera berlangsung cukup unik untuk disimak. Berikut kutipannya:
Bagaimana kalau semua calon independen tersebut ternyata bisa memenuhi persyaratan mengumpulkan tanda tangan dukungan dan fc KTP para pendukungnya sebanyak 3 % dari total populasi Bandung yang 2,4 juta jiwa, yakni sekitar 60-70 ribu dukungan ? Itu tentunya sebuah jumlah yang lumayan banyak euy… Bila hal tersebut terjadi, wah heboh juga ya, pilkada pertama di Indonesia yang mengikut sertakan calon perorangan diiikuti oleh sebanyak 35 pasang calon… “gubrak” ! Sejauh ini sih baru ada satu pasang yang sudah meng-claim sudah mengantongi 70 ribu pendukung… hebat euy.
Jika jumlah calonnya buanyak (more than sekedar ‘banyak’), kebayang kertas suara yang akan dibuat akan buegitu luebar dan puanjang (remember: luebar x puanjang = luuuuas !) seperti pemilu partai yang lalu dan mugkin juga yang akan datang…. kasihannya aki-aki jeung nini-nini nu bakal ripuh ngalipet kertas suara di bilik nu leutik saukuran kandang itik atawa kikirik atawa jangkrik 🙂 halah…. capek dech !
Saya nggak bisa menahan tawa saat membaca tulisannya ini. Walaupun saya nggak bisa ngomong sunda selain nanaon, punten, nuhun dan sejenisnya, tapi tulisan ini cukup ngena untuk menggambarkan bahwa akan sangat merepotkan jika ternyata pilkada kali ini terlalu penuh (sekali lagi TERLALU PENUH) dengan calon independen. Bisa dibayangkan bagaimana lueeeeebar dan puaaaaannjangnya kertas suara yang harus di sediakan KPUD agar semua calon tersebut muat.