Tag Archives: mUNAKAHAT….

Ini Langkahku… (Versi Plesetan)

Ini langkahku… Nggak ragu-ragu
Walaupun ortu… belum setuju
Ini langkahku… terus melaju
Walau kontrakan… masih nunggak melulu

Walau saingan dikanan kiriku
Tapi kuingat dia masih dijaga ortu
Siapa cepat datang lebih dulu
Berhak meminang kalau si akhwat setuju

Ini langkahku… gak mau tau
Meski maisyah… tidak menentu
Ini langkahku… terus melaju
Walau kontrakan… masih nunggak melulu

Pastikan langkahmu wahai ikhwan
Dengan biodata sebagai tawaran
Kalo ditolak jangan pundungan
Karena akhwat… masih ribuan

Cintailah Kematian, Maka Kau Temukan Kehidupan

Lagi seneng mengingat ajal. Momen-momen kepanitiaan daurah jadi pelarianku untuk dzikrul maut itu. Dengan ingat maut setidaknya pas mau berangkat jadi ingat untuk meluruskan niat yang mungkin tadinya bengkok. Meskipun secara manusiawi ada rasa takut juga memikirkan bagaimana nyawa ini akan dijemput, tapi diri ini berusaha untuk pasrah dan ridha jika saja ternyata ditengah pemberangkatan ternyata sudah tiba saatnya. Bahkan pengen rasanya menempatkan kematian sebagai sebuah moment yang paling ditunggu-tunggu sepanjang kehidupan yang terasa semakin singkat ini.

Ah… memang begitu singkat. Nggak kerasa beberapa puluh hari lagi akan genap seperempat abad usiaku. Seorang Rasulullah SAW menggenapkan diennya pada usia itu. Beberapa panglima di era gemilang kejayaan islam bahkan telah melakukan beberapa kali penaklukan wilayah pada usia tersebut. Aku… sekedar menyelesaikan TA ku pun masih kebingungan. Menjadi pribadi yang kuat dan berkarakter, rasanya diri ini masih butuh lebih banyak belajar.

Mengenai usia singkat ini, di DMM dan training sejenisnya aku menemukan sebuah telaga perenungan. Telaga dimana aku bisa berhenti sejenak memikirkan betapa bodohnya aku melewati hari-hari lalu. Betapa childish-nya sikapku yang kerap kali reaktif dan begitu emosional dalam menghadapi sesuatu. Begitu sulitnya lidah ini untuk dikontrol, sehingga kerap kali bermulut besar atau menyakiti hati saudara-saudaraku yang lain. Ah… andainya waktu-waktu tersebut dapat kuulang.

Sesungguhnya ada hikmah dibalik kemustahilan repetisi waktu. Manusia harus belajar menjadi figur yang lebih pintar dari keledai! Mereka tidak boleh jatuh kelubang yang sama dua kali. Setiap momen kehidupan adalah kesempatan kita untuk belajar menjadi lebih baik dari kesalahan-kesalahan yang kita lakukan sebelumnya. Begitupun aku, aku berharap bahwa segala kebodohanku dimasa lalu menjadi tempaan yang membuat diri ini semakin dewasa dan bertanggungjawab. Menjadi figur yang bermanfaat bagi umat. Dan dalam momen daurah kali ini… sebuah langkah baru telah menantiku.

Dalam heningnya malam di lapangan terbuka itu… jawaban itu akhirnya datang. Disaat-saat dimana aku merindukan maut, tantangan baru kehidupan justru datang menjemput. Diakhir-akhir sepertiga malam itu, Murabbiku mengabarkan via SMS sebuah kabar gembira. Beliau menantangku untuk memasuki tahapan kehidupan baru itu dalam tiga bulan kedepan. Ada tanda-tanda positif dari balik hijab itu.

Memang, diri ini butuh banyak belajar. Belajar berhusnudzan terhadap ketentuan dari-Nya yang memiliki setiap inci dari Alam Semesta ini. Mungkin inilah hikmah yang ia selipkan dalam proses yang tertunda-tunda ini. Ia ingin bahwa hambanya ini menjadi seorang ikhwan yang kuat, sadar dan mau belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalunya. Ia ingin bahwa hambanya menjadi orang yang ridha akan apapun keputusan yang Ia tetapkan. Ia ingin hambanya untuk meninggalkan semua borok-borok kesombongan, kecintaan dan posesivitas terhadap hal-hal yang sesungguhnya tidak pernah ia miliki, karena hanya milik-Nya lah segala sesuatu di langit dan di bumi.

Di sepertiga akhir malam itu… aku belajar sedikit tentang arti hidupku

Di sepertiga akhir malam itu… kutemukan Kehidupan di balik Cinta akan Kematian

Aku lebih cinta matiiiii… daripada kamu!!

“Aku cinta matiiiii… daripada kamu!!” by Admiring Pelangi

[Serius… ini fiksi lho, cuma sekedar cerpen iseng nan spontan]

“Say, aku cinta kamu!”

Akhwat yang diajak ngomong itu bengong. Jangankan tersentuh, kebayangpun nggak dengan apa yang barusan dicelotehkan si Cowok sableng itu.

“Ah… masa’ sih? Serius?” sahut si akhwat kesal.

“Seriuuuussss deh, aku cintaaaaaa banget sama kamu!” jawab si cowok dengan tampang memelas.

“Hmmm… kamu berani ngelamar aku hari ini juga?”

Si cowok diam, sekarang giliran dia yang bengong ditodong seperti itu.

Ngh… aku mau kok nikahin kamu, tapi… masak iya secepat itu?”, tanyanya ragu.

“Lho, emangnya kenapa?” tanya akhwat itu menantang.

“Ngh… ya… kita kan belom terlalu mengenal.” jawab si cowok sambil garuk-garuk kayak beruk diatas pohon kapuk.

“Lhah… nah, itu dia! Kok bisa kamu ngomong cintrong?”, introgasi si Akhwat berubah jadi segalak polwan baru lulus Sepolwan Pasar Jumat.

“Menurut aku kamu baek, pinter, solehah, bla bla bla…” jawabnya sambil terus mengabsen sifat si akhwat yang ada dalam bayangannya.

“Nah… nah… nah…” potong si Akhwat, “katanya nggak kenal aku. Tapi kok… kayaknya malah kamu yang lebih kenal diriku dibanding diriku sendiri?”.

Si cowok mati kutu… persis kayak kutu dipites pake kuku. Dia terdiam salting sambil sesekali menggaruk kepalanya yang nggak gatal sama sekali.

“Yo wis lah… gini deh, kalo emang kamu cinta sama aku, aku mau kamu ngaji! Mentoring sana… baru bilang cinta sama aku.”

Dengan garukan yang semakin keras, si cowok nggak berkata apa-apa. Cuma manggut-manggut walaupun bingung. Seumur-umur, dia ngaji cuman waktu SD, semasa masih ikut TPA. Itupun kabur-kaburan, berhubung harus mengejar jadwal rutin ‘penting’ seperti Satria Baja Hitam RX dan Saint Seiya yang dijamin mendidik anak-anak indonesia jadi superhero yang siap menyelamatkan profit perusahaan multi nasional dan diberdayakan jadi buruh elit di perusahaan asing.

Si cowok dengan langkah gontai berbalik meninggalkan medan pertempuran. Tapi… tiba-tiba langkahnya terhenti. Kayaknya masih ada yang mengganjal pikirannya yang sehari-hari gak pernah jauh dari analisis seputar pertandingan Serie A atau strategi memenangkan PES, WE, CM dan berbagai game lainnya. Dan iapun belum menyerah…

“Tapi… aku serius loh, Ful…” *berhubung sebenernya nama karakter nggak penting di cerita ini, kita kasih nama aja si Akhwat ini dengan Fulanah*

“Serius apa?” potong si Akhwat dengan nada lembut tapi nyelekit, menusuk dalam-dalam hati cowok yang kurang baik dan tidak rajin menabung itu.

“Ak… Aku…” katanya ragu, “Aku cinta kamu karena Allah lho!!” lanjutnya berusaha memberanikan diri. kata-kata itu terlintas begitu aja ketika dia ingat dengan sebuah artikel di blog saat disuruh membuat makalah kuliah Agama dan Etika Islam. Sejujur-jujurnya, Ia nggak tau pasti arti dari kata-kata itu secara persis.

*Gedubrak* Si Akhwat bingung antara harus geli dengan kata-kata itu atau pengen nonjok si pahlawan cinta monyet yang ia sendiri lupa kenal dimana. Pengen rasanya jurus pamungkas taekwondonya Ia keluarkan. Tapi tiba-tiba bidadari virtual nan cantik di sebelah kanannya berkata lembut, “sabar atuh ukhti… kesempatan nih, ayo dingajiin! Target potensial nih…”. Ia pun menarik nafas puaaaaannjjjjang, lalu…

“Huh… Iya deh… terserah kamu. Aku juga cinta kamu karena Allah…”

Betapa berbunga-bunganya si Cowok sableng itu mendengar kata ‘cinta’ yang ditujukan padanya.

“Tapi…” lanjut si Akhwat membuyarkan proyek kebon bunga yang baru saja menggusur lapangan bola di hati si Ikhwan, “pokoknya gak mau tau, aku pengen kamu mentoring dulu… Titik!!” lanjutnya sambil segera ngeloyor pergi dengan perasaan yang sudah mumet dengan serbuan mendadak si cowok di musim Ujian Akhir Semester kayak sekarang ini.

“Eh… eh…” sahut si Cowok kebingungan kayak pejabat korup ketangkep basah KPK.

“Seriuuuuuusss… Ful! Aku cinta mati sama kamu!” teriaknya pada si Akhwat yang semakin jauh.

Si Akhwat menoleh sebentar,

“Tapi aku lebih cinta mati daripada kamuuuu!!!” balasnya yang disambut dengan sunyi, bersamaan dengan semakin mematungnya si Ikhwan.

***

Sembilan bulan lebih sembilan hari kemudian…

Seorang ikhwan masuk kedalam mesjid bersama rombongan keluarganya dengan muka cengengesan yang nggak bisa ditahan. Dia menyapa beberapa temannya. Mereka adalah teman satu kelompok mentoringnya. Gerombolan anak nongkrong, yang sama-sama berusaha belajar tentang Tuhan dan Agamanya.

Begitu matanya melirik sedikit pada bidadari bergaun putih yang sudah sejak tadi nangkring di barisan Akhwat yang tersekat hijab, tiba-tiba dadanya kembang kempis. Terasa panas dingin bulu kuduknya melihat bidadari yang dalam hatinya yang paling dalam ia harapkan jadi pendampingnya di surga kelak. Si bidadari tertunduk saja, sama dag-dig-dugnya dengan calon presiden RRT (Republik Rumah Tangga) itu. Singkat cerita, prosesi akad berjalan lancar dan sukses walaupun sempat diwarnai kericuhan karena si Ikhwan saking gugupnya lupa dengan nama calon istrinya itu dan malah mengabsen mantan-mantan pacarnya semasa masih berandalan dulu. Setelah prosesi, kedua mempelai segera diboyong ke tahta mereka sebagai sepasang manusia paling bahagia di hari itu.

“Ful… ful…”

Di tengah langkah gemulai bak pameran busana pengantin, si Ikhwan tiba-tiba memanggil perempuan yang menggandengnya itu dengan setengah berbisik.

“Apa kang?” jawab si Akhwat malu-malu.

“A… aku cinta mati sama…”

“Ssst…” belum sempat melanjutkan, si Akhwat memberi isyarat kepada pangerannya itu untuk tidak melanjutkan.

“Aku lebih cinta mati daripada kamu.” lanjutnya dengan senyuman.

Si ikhwan termenung sebentar, lalu dengan senyum sumringah dia menanggapinya…

“Aku juga lebih cinta mati daripada kamu…” ucapnya berbisik, “Aku ingin mencintai mati, sama sepertimu.” lanjutnya dengan nada bersungguh-sungguh.

Bidadari itu menjawabnya dengan senyum. Senyum penuh arti yang diiringi lantunan doa yang sejak bertahun-tahun lalu begitu akrab dengan lisannya.

Allahumma… Innaka ta’lam anna hadzihil quluub
qad ijtamaat alaa mahabbatik… wal taqqat ala Thaa’atik…
wa Tawahhadat ala nashrati syari’atik…
fa watstsiqillahumma rabithatahaa…
wa adimmuddahaa… wahdiha subulahaa…
wamla’haa bi nuurikalladzi laa yakhbuu…
Wasyrah suduurahaa bi faidzil iimaanubik…
wa jamiilit tawakkuli alaik…
wa ahyihaa bi ma’rifatik…
wa amithaa ala syahaadati fii sabiilik…
wa amithaa ala syahaadati fii sabiilik…
wa amithaa ala syahaadati fii sabiilik…
innaka ni’mal maulaa… wa ni’mannashiir…

Dan ucapan pangerannya tadi menjadi hadiah paling romantis baginya di hari paling istimewa sepanjang hidupnya itu.

*** tamat ***

Ardee’est Things in My Life
[Menjelang maghrib, Ganesha, 29 Mei 2008]
Yaa Allah berikan murabbiyah terbaik bagi anak-anakku