Setelah artikel ini, yang kemudian saya tanggapi dengan ini, penulisnya kemudian memberikan tanggapan lebih lanjut yaitu ini. Oleh karena itu saya coba untuk memberikan tanggapan sebagai berikut:
Hmm… ok, Insya Allah saya bisa menangkap pesannya. Oleh karena itu saya mohon maaf, berarti masalah ini ada pada tataran perbedaan pandangan kita seputar dakwah politik serta bagaimana kita memandang hubungan kita sebagai individu muslim dengan ulil amri/penguasa. Hal ini bersifat furu’iyah (ijtihadi dalam dakwah), dan bukan hal yang bersifat Ushul (pokok ).
Saya menghormati argumen dan sikap antum tersebut seutuhnya, namun disamping itu saya berharap pula antum bisa menghormati sikap yang kami pilih yang meninjau fenomena ini dari sudut pandang berbeda. Sekali lagi, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga gesekan-gesekan kecil dalam hal pemikiran ini tidak menghalangi kita untuk tetap berukhuwah sebagai sesama muslim.
Penyebab utamanya telah jelas, yaitu bagaimana masing-masing memahami interaksi antara seorang muslim dengan pemerintahnya memang sama sekali berbeda. Tanpa mencoba untuk merendahkan atau beradu/menyanggah argumen beliau, saya coba memaparkan sedikit dari apa yang saya pahami. Bahwa sebagaimana rukun islam yang lima, dakwah dan amar ma’ruf nahyi munkar merupakan kewajiban yang secara inheren muncul bersama dengan keislaman kita. Pada intinya, dakwah merupakan kewajiban yang melekat pada diri seorang muslim.
Salah satu bentuknya adalah mengkritisi dan meluruskan kedzaliman yang dilakukan institusi pemerintah terhadap rakyat yang diayominya. Inti dari keberadaan pemerintahan adalah untuk memberikan kemaslahatan bagi ummat, jika hal itu tidak dapat dilakukan oleh ulul amri dan bahkan cenderung terjadi hal sebaliknya (eksploitasi rakyat secara zalim) maka sudah sepatutnya sebagai seorang muslim mengingatkan. Tujuannya agar yang sudah salah tidak semakin bertambah salah.
”Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-ra’du: 19)
Wallahu a’lam bishshawab