Category Archives: renungan

Ayo nulis! Malu sama umur!

Memfollow-up ide dirapat GPH kemarin, tadi pagi aku mencoba melist semua buku yang nangkring dalam kamar kostku. Tadi daftar itu kuposting ke milis manajemen GPH. Tiba-tiba tercetus juga untuk meletakkannya daftar ini di blogku ini. Bukan mau sekedar pamer jumlah buku, mengingat jumlah buku yang cuman ‘seiprit’ ini belum kubaca semua. Cuma sebagai penyemangat/motivator buatku untuk semakin meningkatkan frekuensi menulis.

Tenyata untuk saat ini jumlah buku disaya nggak nyampe 100 judul. Itupun sudah termasuk juga buku sakti OSKM ITB 2005 dan 2006. Beberapa buku juga masih berstatus pinjeman dari temen yang belom kunjung terkembalikan. Sekedar mengingatkan diri pribadi, banyaknya bacaan kita mencerminkan seberapa dalam kita mencoba mengenal diri kita dan dunia. Jadi, hayu kita masing-masing menargetkan untuk akhir tahun ini kita masing-masing bisa menambah koleksi buku kita satu judul aja… tapi dengan nama kita di cover bukunya (kita sebagai penulis).

Ayo nulis! Malu sama umur! Peace! hehehe…

JUDUL Penulis Ket.
1 Jam Sebelum Anda Memasuki Ruang Wawancara Suryaputra N. Awangga
11 Script Spektakuler ASP Gregorius Agung
7 Pola, 240 Akord Gitar Elektrik/Akustik RE. Rangkuti
Agribisnis Cabai Hibrida Final Prajnanta
Animal Behaviour David McFarland
Ayat-Ayat Nikah Langgersari Elsari N.
Bagaimana Menyentuh Hati Abbas As-Siisiy o
Bahagia Bersama Mertua (seni memahami mertua) Muhammad Muhyidin
Bahaya Islam jama’ah Lemkari LDII LPPI o
BAPPERTAL
Berdakwah Dengan Menulis Buku
Bioinformatics for Dummies Jean-Michel Claverie
Budidaya Ikan Lele S. Rachmatun Suyanto
Buku Pintar Software Program Komputer Haris Supriansyah
Cakewalk Pro Audio 9 Inung K. Arisasangka
Cara Bermain Gitar Budi Kurniawan
Cerdas Menjawab Job Interview Martin John Yate
Cinta dalam Pandangan Islam Abdullah Nashih Ulwan
Corel Draw 7 Andri Setyawan
Dakwah Kampus Budi Wiyarno
Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 1 Pelczar o
Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 2 Pelczar o
Denting Dua Hati Maya Lestari Gf.
Desain Vector dan Tracing dengan Illustrator CS Hasto Suprayogo
Di Jalan Dakwah Aku Menikah Cahyadi Takariawan
Di Sini Ada Cinta! (MTPS 2) FLP
Divestasi Indosat: Kebusukan sebuah Rezim Marwan Batubara
Filsafat Politik Islam Yamani
Flash 8 Lanjutan Ridwan Sanjaya
Fruity Loops 2: Bermain Musik Tanpa Instrumen Inung K. Arisasangka
Gerakan Islam: sebuah analisis A. Ezzati
Gerakan Keagamaan dan Pemikiran WAMY f
Hadiah Cinta dari Dunia Maya Sri Noor Verawaty
Har’s and She’s Diary Denny P. & Muktiar S.
Histeria Sang Idola Izzatul Jannah
How To Draw & Create Manga 1: Kepala dan wajah
How To Draw & Create Manga 2: Tubuh dan Anatomi
Identifikasi Keberbakatan Intelektual Melalui Metode Non-Tes Reni Akbar-Hawadi
Insomnia Anton Kurnia
Jaringan Gelap Freemasonry A.D. El Marzdedeq
Kado Indah Pernikahan Abu Ahmad Wajih
Kafir Liberal Emha Ainun Nadjib
Kehancuran Israel di Tahun 2022 Dr. Bassam Nahad Jarrar o
Key to The New World HR for IA-ITB
Kisah Seribu Satu Malam (Mizan, Buku 2)
Lenin: Revolusi Oktober 1917 Saiful Arif & Eko Prasetyo
Mail Merge Moehammad Ferryzal
Mail Service Berbasis Java pada Server Windows dan Linux Didik D. Prasetyo
Maling Republik Soenaryo Basuki Ks
Managing Creativity and Innovation Harvard Press
Manhaj Haraki dalam Sirah Nabawi (Jilid 2) Syaikh Munir Muhammad Ghadban o
Matahari Tak Pernah Sendiri (MTPS 1) FLP
Maximum Performance Aubrey C. Daniels
Membangun Web Server dengan Linux M. Tito Herlambang
Membina Angkatan Mujahid Sa’id Hawwa
Mempersunting Bidadari Muhammad Muhyidin
Mendesain Layout Profesional dengan Adobe InDesign CS2 Iim Rustandi
Menggapai Hidayah dari Kisah Imam Al-Ghazali Isyan Basya
Menguasai Komputer dan linux Asisten Comlabs
Menguasai Security UNIX Rahmat Rafiudin
Menikmati Bulan Madu Dr. Aiman Al-Husaini
Menikmati Demokrasi Anis Matta F
Menuju Pernikahan Islami 2 (6 booklet) Drs. Muhammad Thalib
Mereka Melawan Korupsi SAKSI
Multimedia: From Wagner to Virtual Reality Randall Packer et al.
Ngebet Nikah (Kumcer) Gusrianto o
Pakan Ikan Eddy Afrianto
Panduan Lengkap Memakai Adobe InDesign CS2 Adi Kusrianto
Panduan Lengkap Menggunakan BLENDER Carsten Wartmann
Panduan P3K Sulistro Sudirman
Pejuang-Pejuang Kebenaran Dr. Muhammad Hasan Al-Himsy
Pemrograman HTML Andi Setiawan
Pengantar Filsafat Jan Hendrik Rapar o
Perancangan Organisasi Hari Lubis
Protokol Ganesha (Buku Sakti OSKM 2005) Kabinet KM ITB
Renovasi Dakwah Kampus Arya sandhiyuda
Robohnya Dakwah di Tangan Dai Fathi Yakan o
Sistem Cepat Pengajaran Bahasa Arab Drs. Muhammad Thalib
Smart Answer in Job Interview Yusup Priyadisurya
Solarex: Penuntun ke Teknik Listrik Sinar Surya Solarex Corp.
Spiritualitas Cyber Space Jeff Zaleski
Starting & Running a Successfull Newsletter or Magazine Cheryl Woodward
Syahadatain: Syarat Utama Tegaknya Syariat Islam (N11) Muhammad Umar Jiau Al-Haq
Technical Writing Bambang Supriyanto
Teknik Merakit PC Modern Teguh Wahyono
The Courage to Create Rollo May
Tips & Trik Macromedia Flash 5.0 dengan Actionscript Didik Wijaya
Trik Memperindah Website dengan Menu Dinamis Ridwan Sanjaya
True to Our Roots Paul Dolan
Ungkapkan Isi Hati Melalui Puisi Luqman Haqani
Wayang Semau Gue Ki Guna Watoncarita
Wiracarita OSKM 2006 Panitia OSKM 2006

Melukis Peradaban

Melukis Peradaban

Minggu, Juni 8th, 2008

Menatap gejolak yang meluap dan menghanguskan serta meluluh lantakkan dunia islam,

ada yang harus dilakukan

Menyimak kedzaliman dan penindasan, yang menimpa dan mencengkeram dunia islam,

ada yang harus dikerjakan

Bukan semata merenung, kemudian meneteskan airmata

Bukan semata menjerit atau bertakbir, namun tiada yang dilakukan

Adalah menyiapkan diri,

menjadi anak panah-anak panah yang siap dilepaskan,

atau peluru-peluru yang siap ditembakkan,

atau tombak-tombak yang siap dilemparkan,

atau pedang-pedang yang siap diayunkan

Menyadari keangkuhan dan kesombongan, yang mengangkangi dan menindas dunia islam,

ada yang harus disiapkan

Keikhlasan diri, kebulatan tekad, kekuatan jasad dan keteguhan materi

Menyikapi kehancuran yang melanda dunia islam, ditengah kelesuan dan tidur panjang umat islam,

langkah yang dilakukan harus penuh kesungguhan.

Bukan semata bicara panjang lebar,

tanpa kerja yang nyata,

atau semata mengungkapkan kebobrokan,

namun dengan penuh ragu dan kecenderungan.

Adalah memantapkan diri,

bahwa selembar jadwal bukan sekedar rencana kosong,

bahwa tiap goresan pena adalah kesungguhan dengan keprihatinan

bahwa kesabaran adalah cambuk untuk menegakkan keadilan

Merenungi langkah yang bila harus dilakukan, untuk masa depan dunia islam,

ada yang harus ditegaskan

Kemantapan diri, kekuatan azam, kemurnian asas, dan kejelasan tujuan.

Kemarin aku tertegun mendengarkan nasyid ‘tekad’ dari Izzatul Islam. Tiba-tiba saja aku merasa tersinggung dengan narasi yang mengiringi lirik nasyid ini. Aku nggak bisa menahan tangis ketika sampai pada “…bahwa tiap goresan pena adalah kesungguhan dengan keprihatinan…”. Ya Allah, sekian banyak yang telah kutulis. Telah lebih dari 400 posting yang terpapar di blog ini. Telah entah berapa ribu pasang mata yang telah mampir dan membaca ‘goresan-goresan pena’ ini. Lalu apa yang telah kuberikan bagi kejayaan peradaban islam?

Seorang Muhammad Al Fatih telah menaklukkan Konstantinopel di usianya yang belum genap 20 tahun. Seorang Usamah bahkan telah memimpin ribuan pasukan menuju Yarmuk. Apa yang mampu dilakukan seorang ARDIAN PERDANA PUTRA diusianya yang ke-25 yaa.. Allah. Di usiaku yang sebentar lagi menyentuh seperempat abad ini aku belum pula mampu menuliskan sebuah buku. Aku belum pula mampu menjadikan rangkaian kata ini jadi senjata. Aku belum pula mampu menjadikan ribuan paragraf ini menjadi benteng kokoh.

Bukan semata merenung, kemudian meneteskan airmata

Bukan semata menjerit atau bertakbir, namun tiada yang dilakukan

Bukan waktunya lagi bersedih dan larut dalam penyesalan. Bukan waktunya lagi untuk banyak merenung tanpa berbuat apa-apa. Inilah saatnya untuk berpikir bagaimana mengisi detik-detik yang terus berlalu menuju maut dengan sebermanfaat mungkin. Kita tidak akan pernah tahu kapan tepatnya ruh ini akan berpisah dari raga. Yang kita tahu adalah adalah sebuah kecelakaan besar jika saat itu datang kita tidak sedang dalam kondisi mengingat-Nya, di jalan juang dalam menegakkan agama-Nya.

Saatnya bagi kita untuk pancangkan niat baru! Niat untuk memperbaharui mindset kita dalam memandang sisa hidup kita ini. Sisa hidup ini harus berarti, bukan saja bagi diri kita dan orang-orang disekitar kita. Mimpi yang kita tancapkan harus jauh lebih besar… karena aksi-aksi besar hanya bisa tertampung dalam sebuah mimpi yang besar. Dan Bismillah… Nawaitu… inilah niatku!

Ya Allah, 71 hari lagi menuju seperempat abad kehadiranku di dunia. Saksikanlah, bahwa aku berusaha meluruskan niat di dada ini. Sebelum kau cabut nyawaku izinkan aku mempersembahkan sebuah buku untuk dunia. Sebelum rangkai kata ini terlupakan oleh waktu, izinkan aku untuk mengabadikannya bagi sejarah. Karena tiada artinya permohonan ini tanpa ridha-Mu yaa Rabb… maka saksikanlah! Izinkan aku disisa umurku ini untuk… Melukis Peradaban!

Taujih Ust. Tate Ahad Kemarin

Sebenernya ada sedikit penyesalan saat saya terlambat tiba di Habib siang itu. Aku tiba pukul setengah dua siang, sedangkan agenda yang dijadwalkan oleh panitia adalah pukul duabelas. Meski begitu aku masih bersyukur bahwa aku datang saat itu tanpa keterpaksaan apapun, bahkan sedang bersemangat mengejar isian ruhiyah baru dari taujih kali ini. Sebenarnya aku sedikit ragu, karena rekan-rekan sehalaqah tidak ada yang memutuskan datang sehingga aku datang sendirian.

Habib hari itu sangat-sangat ramai. Motor-motor memenuhi lapangan parkir. Rombongan akhwat jilbab lebarpun terlihat berduyun-duyun memasuki masjid. Ada diantara mereka yang baru saja turun dari angkot tepat didepan gerbang, sebagian yang lain terlihat berjalan bergerombol dari depan gerbang citepus. Mungkin mereka baru saja menyelesaikan agenda halaqahnya. Sudah umum diantara ikhwah bahwa hari sabtu dan ahad sebagai hari ‘Liqo Akhwat Nasional’ karena memang mereka banyak meletakkan agenda pekanannya saat weekend.

Kedatanganku tepat saat seorang ustadz sedang memulai taujihnya. Selesai berwudhu aku segera memasuki masjid. Di pintu masjid seorang ikhwan menepuk betisku pelan. Ah… wajah yang cukup kukenal. Ternyata pak Dudi Lutpi, mas’ul kepemudaan di DPD. Subhanallah, satu hal yang kukagumi dari beliau adalah beliau masih mengingatku persis. Padahal kami sudah 1,5 tahun tidak bertemu setelah masa-masa pembentukan tim P2B kota Bandung. Aku sedikit kelabakan dan malu mengingat bahwa sudah 1,5 tahun ini aku menghilang dari tim itu.

Aku tidak terlalu mengenali wajah sang ustadz, berhubung sebenarnya aku jarang sekali ikut acara semacam ini. Beliau berorasi dengan begitu bersemangat. Aku tidak tahu persis apa temanya, yang pasti saat aku mulai mendengarkan beliau sampai pada bahasan mengenai tafsir Al-Muddatstsir. Kurang lebih isi bahasannya seperti ini:

Seperti kita tahu, rangkaian ayat pertama yang diturunkan oleh Allah pada Nabi Muhammad SAW adalah “Iqra!”, Bacalah! Rangkaian ayat ini bisa ditafsirkan sebagai perintah bagi manusia untuk belajar dan menyerap beragam informasi yang telah disediakan Allah melalui ayat-ayat kauni dan ayat-ayat qaulinya. Hal yang menarik adalah, bagaimana setelah rangkaian surat Al Alaq ini turun, maka Allah kemudian menurunkan surat Al-Muddatstsir (Orang yang berselimut).

Berdasarkan shirah, Al Muddatstsir turun ketika nabi pulang kerumahnya dalam keadaan begitu syok dan terguncang dengan pertemuannya dengan Jibril saat bertahannuts. Istrinya Khadijah segera menyelimuti Rasul yang terlihat menggigil seperti orang kedinginan itu. Saat itulah wahyu ini diturunkan.

Ayat 1:

Kata ‘muddatstsir’ yang disebutkan di ayat ini yang sekaligus menjadi nama surat ke 74 ini secara harfiyah berarti orang yang berselimut. Istilah ‘berselimut’ dalam ayat ini dapat ditafsirkan (seingat saya Ustadz menyebut menurut Fi Dzilalil Quran) dalam pengartian yang luas. Dalam hal ini ‘selimut’ yang dimaksud mencakup segala hal yang menghalangi semangat seseorang, sehingga selimut yang dimaksud dapat bermakna ‘selimut kemalasan’.

Ayat 2:

Ada dua perintah yang diberikan oleh Allah pada Rasulullah SAW, ‘qum!'(bangkitlah/bangunlah) dan ‘Andzir!’ (serulah!), dimana kedua fi’il amr ini tidak memiliki maf’ul bihi. Berkaitan dengan ayat pertama, kata ‘qum’ berarti bangkit dari segala ‘selimut kelemahan’ yang membelenggu ruh kita untuk bangkit. Sedangkan perintah ‘andzir!’ adalah perintah untuk menyerukan apa yang telah diwahyukan pada ayat surat Al-Alaq. Ketiadaan maf’ul bihi (objek penderita) dalam kalimat perintah itu dapat ditafsirkan sebagai universalitas dakwah islam. Dakwah Rasulullah sebagai rasul terakhir ditujukan kepada seluruh umat manusia, dan bukan pada suku, ras, golongan, gender atau kalangan tertentu. Fragmen ayat ini sekaligus juga menjadi perintah dakwah pertama bagi kaum muslim untuk menyeru pada seluruh manusia.

Ayat 3:

Dalam ayat ketiga (‘wa Rabbaka fa Kabbir’/”Dan Nama Tuhan-Mu, Besarkanlah!”), terdapat suatu keunikan karena Allah SWT menggunakan susunan kalimat ‘wa rabbaka fa kabbir’ dan bukan ‘fa kabbir rabbaka!’ (besarkanlah nama Tuhanmu!) meskipun keduanya memiliki makna yang nyaris sama persis. Penafsiran mengenai hal ini ada tiga poin:

  1. Bahwa dakwah islam hanya memiliki satu visi, yaitu untuk membesarkan nama Allah SWT. Maka dari itulah ‘rabbaka’ menjadi penekanan dengan diletakkan pada awal kalimat tersebut. Ini adalah penegasan pula bahwa kita berdakwah bukan untuk sebuah kemenangan partai, kemenangan seorang kepala daerah/kepala pemerintahan, melainkan semata untuk menegakkan nilai-nilai islam dimuka bumi ini. Nilai yang bisa diambil disini adalah kelurusan niat.
  2. Bahwa sebesar apapun tantangan dan hambatan yang kita alami dalam jalan ini sesungguhnya tiada artinya dibawah ke’Maha Besar’an Allah SWT. Hal ini sekaligus isyarat bahwa dakwah islam dibangun atas dasar tauhid yang murni, dengan penafian segala kebesaran dzat kecuali kebesaran Allah SWT semata. Nilai yang bisa diambil adalah pentingnya menjaga ma’nawiyah dalam menjalani aktivitas dakwah.
  3. Bahwa dakwah Islam didasari semata atas dasar keikhlasan. Melepaskan semua bentuk motif-motif kesombongan dan takabur yang ada dalam aktivitas dakwah kita, karena hanya milik Allah SWT lah segala Kebesaran. Nilai yang bisa diambil adalah pentingnya kelurusan niat dan keikhlasan dalam beramal.

Ayat 4:

Dalam ayat ini kata ‘bersihkanlah!’ memiliki arti membersihkan diri, hati, niat, dll sehingga karakter/kepribadian yang menarik terpancar dari diri seorang muslim (Jleb! Kena deh!).

Ayat 5:

‘Rujza faHjur’ memiliki makna perintah untuk menghindarkan diri dari segala bentuk kemusyrikan, diantaranya saat niat kita kurang lurus.

Ayat 6:

Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak mengharap-harapkan datangnya balasan yang lebih didunia dari apa yang kita keluarkan dalam amal-amal kita. Meskipun ada pula janji Allah SWT tentang datangnya balasan berlipat didunia dan akhirat dari apa yang kita korbankan. Intinya adalah Tadhiyah dan keikhlasan!

Ayat 7:

Ayat ini menegaskan tentang arti penting tawakkal dan kesabaran setelah segala sesuatu yang kita ikhtiarkan. Ini berkaitan dengan peringatan yang diberikan Allah di surah Al Hajj seputar ‘Kemenangan-kemenangan yang tertunda’. Pemaknaan lebih dalam dari ayat ini merupakan pengingat kita bahwa makna ‘kemenangan’ bagi Allah begitu luas. Apa yang secara dzahir terlihat seperti kegagalan dari sudut pandang manusia bisa jadi sebenarnya kemenangan yang gemilang (berupa ganjaran pahala) dimata Allah atau terdapat hikmah yang mungkin saat itu akan sulit dicerna oleh pikiran manusia, namun terungkap setelah sekian waktu berjalan.

Contoh (oleh-oleh DMM nih), saat Baghdad diduduki pasukan Mongol, ternyata kemudian dakwah islam justru menjadi menemukan ‘kebangkitan baru’ dengan terbukanya jalur laut perdagangan ke Gujarat, yang akhirnya merambah hingga ke Nusantara. Tanpa adanya tragedi penaklukan Baghdad tersebut, mungkin dakwah sampai ke negeri kita akan tertunda puluhan hingga ratusan tahun. Contoh lain misalnya hikmah dibalik perjanjian hudaibiyah yang menjadi pintu ekspansi dakwah  yang lebih luas bagi kaum muslimin.

Alhamdulillah, Allah masih menganugerahkan semangat bagi saya untuk merecharge ruhiyah saya hari ini. Semoga menjadi washilah menjadi diri yang lebih baik dan lebih produktif. Semoga rangkaian taujih hari ahad kemarin menjadi sumber telaga semangat dan inspirasi menuju kemenangan di Pilkada Bandung dan Pemilu Nasional.

Oh iya satu lagi, setelah tanya kanan-kiri, barulah saya ngeh bahwa itu yang namanya ustadz Tate Qomarudin. Hmm… akhirnya saya bertemu dengan orang dibelakang lirik-lirik ‘maknyus’ Shoutul Harokah. Ah dasar gaptar(gagap tarbiyah)nya saya… hehehe.

Wallahu a’lam bisshawab…

[weekly lyrics] Teruntuk Ruh baru DMM 2008

Gelombang Keadilan
Munsyid : Shoutul Harokah
http://liriknasyid.com

Dan melangkah kaki dengan pasti
Menerobos segala onak duri
Generasi baru yang telah dinanti
Tak takut dicaci tak gentar mati

Bagai gelombang terus menerjang
Tuk tumbangkan segala kezhaliman
Dengan tulus ikhlas untuk keadilan
Hingga pertiwi gapai sejahtera

Takkan surut walau selangkah
Takkan henti walau sejenak
Cita kami hidup mulia
Atau syahid mendapat surga

========================

Indonesia Memanggil
Album : Ini Langkahku
Munsyid : Shoutul Harokah
http://liriknasyid.com

ha… ha… ha…

Singsingkan lengan baju pancangkan asa
Ukirlah hari esok pertiwi jaya
Bergandengan tangan tuk meraih ridho Allah

Buatlah negri ini selalu tersenyum
Bahagia dan Sejahtera dalam cinta-Nya
Tiada lagi resah tiada lagi duka lara

Negeri indah Indonesia
Memanggil namamu
Menyapa nuranimu

Negeri Indah Indonesia
Menanti hadirmu
Rindukan karyamu

====================
Tekad
Album : Berderap di Jalan yang Panjang
Munsyid : Izzatul Islam
http://liriknasyid.com

Kami sadari jalan ini kan penuh onak dan duri
Aral menghadang dan kedzaliman yang akan kami hadapi
Kami relakan jua serahkan dengan tekad di hati
Jasad ini… darah ini… sepenuh ridho di hati

Kami adalah panah-panah terbujur
Yang siap dilepaskan dari busur
Tuju sasaran , siapapun pemanahnya
(ending)

Kami adalah pedang-pedang terhunus
Yang siap terayun menebas musuh
Tiada peduli siapapun pemegangnya

Asalkan ikhlas di hati tuk hanya Ridho Ilahi
Robbi….

Kami adalah tombak-tombak berjajar
Yang siap dilontarkan dan menghujam
Menembus dada lantakkan keangkuhan

Kami adalah butir-butir peluru
Yang siap ditembakkan dan melaju
Dan mengoyak menumbang kezaliman

Asalkan ikhlas di hati tuk jumpa wajah Ilahi Rabbi

Kami adalah mata pena yang tajam
Yang siap menuliskan kebenaran
Tanpa ragu ungkapkan keadilan

Kami pisau belati yang selalu tajam
Bak kesabaran yang tak pernah akan padam
Tuk arungi dakwah ini jalan panjang

Asalkan ikhlas dihati menuju jannah Ilahi Rabbi

Kuharap ini hari terbaikku…

Ya Allah, jadikan ini hari terbaikku
Saat Kau bersedia tuk mencabut nyawaku
ketika kebetulan kuingat diri-Mu

Ya Allah, kuharap ini hari terkeren dalam hidupku
saat kau sudi hadiahkan maut padaku
saat kebetulan kusedang berusaha tidak bermaksiat padamu

Ya Allah, jadikan ini hari terbaikku
Saat tubuhku terlontar dari atas motor ini
memisahkan ruhku dari tubuh fisik yang membelenggu ini

Ya Allah, kuharap ini ini hari terindahku
Saat lantun Al Fajr mengiring kepergianku
Menghadap sebagai seorang yang Ridha dan Diridhai

Tuhanku, detik ini aku hanya ingin tersenyum
kuberharap saat akhirnya sang ajal menjemput…
Maka aku tidak lupa untuk tersenyum…
Tersenyum dengan senyuman terbaikku… terkeren…hanya untuk Rabbku
Tersenyum dengan senyuman ternarsisku… senyum puas dan ridha padaMu
Tersenyum dengan senyuman terlebar… penuh kemenangan diakhir hidupku

Tuhanku, kabarkanlah… kabarkan padaku
bagaimana kau cabut nyawaku hari ini?
Apakah dada ini akan tertembus sepotong besi…
yang akan membelah jantungku?
Atau mungkin Kau pisahkan kepala ini dari tubuhku…
dan saat itu kau bubuhkan senyum di bibirku?
Atau mungkin kau bolehkan tulang-tulang ini remuk
terlindas truk atau bus yang mengejar rizki bak mengejar maut?

Ya Allah… nawaitu…
Bahwa inilah perjalanan terakhirku…
Bahwa aku berangkat tidak untuk kembali…
Maka saksikanlah bahwa aku pernah memohon padamu Ya Rabb

Ya Allah… betapa aku berharap…
Inilah hari terbaik bagi maut untuk menjemputku!
Namun jika memang kehendak-Mu bukan saat ini ajalku…
Maka abadikan permohonan ini dalam ingatanku…

[Seperempat malam pertama 31 Mei 2008, di atas motor antara Bandung-Cibodas]

Kekalkanlah Ikatan Kami Yaa Allah!

Kemarin, hari jumat siang, alhamdulillah aku diberi kesempatan untuk kembali bersua dan bersilaturahmi dengan saudara-saudaraku alumni Husnul Khotimah di acara silaturahmi ISHLAH (Ikatan Alumni Husnul Khotimah) cabang Bandung. Begitu banyak hal berkesan yang aku dapat dari acara ini, terutama karena bisa berkenalan dengan alumni-alumni angkatan muda yang sebelumnya nggak saya kenal dan berbagi cerita dan kegundahan seputar Pondok serta rekan-rekan yang menghilang dari peredaran selepas keluar dari ma’had. Acara yang berlangsung selepas jumatan hingga maghrib itu benar-benar menjadi sarana melepas kerinduan dan isian ruhiyah yang maknyus buat saya pribadi.

Ada belasan ikhwan serta belasan akhwat dari berbagai angkatan yang hadir. Alhamdulillah aku dan Akh Iman belum menjadi angkatan [paling] tua, karena akh Ginanjar Hatuala datang di acara tersebut. Beliau adalah teman seangkatan Ramdhan TG’03 yang (baru aku ingat ternyata sama sepertiku) keluar dari ma’had selepas MTs untuk melanjutkan studinya di SMU negeri. Keberadaan beliau begitu aku syukuri karena ada kisah dan taushiyah dari Ikhwan yang baru saja berbahagia dengan kelahiran anak pertamanya ini, yang luar biasa mengena bagi diriku. Taushiyah ini beliau dapat dari seorang alumni lain eks-presiden ISHLAH pusat, Akh M. Muthi Ali. Insya Allah taushiyah tersebut akan coba aku rangkaikan bagi antum semua yang membacanya saat ini.

Alkisah…

Di suatu waktu, ada seorang akhwat alumni generasi awal yang selepas lulusnya dari HK kemudian melanjutkan studi dan menetap di daerah jakarta. Bersyukurlah, Allah menghendaki akhwat ini untuk tetap istiqamah dengan aktivitas dakwah dan tarbiyahnya selepas dari ma’had, disaat banyak pula alumni yang lain yang seolah-olah terbebas dari belenggu aturan di ma’had dan kemudian secara utuh kehilangan identitas kesantriannya (kayak saya juga, terutama saat SMA). Seakan gemblengan selama 6 tahun hilang begitu saja, berganti dengan pencarian identitas dan pemaknaan hidup yang semu dalam trend serta mode yang ada di lingkungan barunya. Bahkan tidak jarang pula dari mereka yang kemudian kehilangan ruh dan kemauan untuk tetap istiqamah dalam melanjutkan aktivitas halaqahnya.

Tetapi tidak begitu dengan akhwat ini. Militansi nan menggebu-gebu terbina dalam wajihah aktivitasnya seakan bersinergi dengan tempaan tsaqafah dan pemahaman yang didapat semasa di ma’had. Amanah seakan silih berganti menggoda uluran tangannya, hingga suatu waktu sampailah beliau pada suatu ujian yang menguras energi ruhiyahnya hingga mencapai limit. Himpitan masalah yang sedemikian besar membuatnya gundah hingga titik yang tak tertahankan. Ditengah kegundahan itulah, ia coba untuk berhenti sejenak, menemukan sebuah tujuan pelarian dari kejaran bayang-bayang masalah yang menghantuinya tersebut. Dan… ia memutuskan untuk melarikan diri ke… Ma’had Husnul Khotimah.

Ia memutuskan untuk kembali kerumah yang telah sekian ia tinggalkan. Tanpa banyak pertimbangan, dipacunya mobil pribadinya, menyetir sendirian dirute antara jakarta-kuningan, ditengah malam tanpa ada rekannya yang tahu. Hanya dia dan perjalanan malam itu yang larut dalam perenungan, dengan tujuan satu… kembali ke rumah yang telah menggembleng dan memberinya banyak hal sebagai bekal kehidupan. Dan sampailah ia ke tujuannya di dini hari yang dingin menusuk, dengan segera melanjutkan perenungannya dalam raka’at-raka’at sunyi menjelang subuh. Baginya kini, tujuannya untuk menemukan perhentian sejenak ditengah hiruk-pikuk aktivitas rutinnya telah tercapai.

Ia datang ke rumah ini bukan untuk menanti wejangan dari ustazah-ustazah yang membinanya. Ia datang ke rumah ini bukan pula untuk menemukan wadah curahan hati diantara rekan-rekannya yang masih menetap disini untuk mengabdi pada Ma’had. Bahkan ia telah berniat untuk bungkam seribu bahasa tentang segala masalah yang tengah menimpanya saat itu. Semuanya karena sekali lagi, tujuannya kesini tak lebih hanya sekedar menemukan kembali suasana yang telah lama hilang dari derap langkah kesehariannya di Ibukota. Tidak lebih sedikitpun.

Namun… kedatangan si anak hilang di rumahnya setelah sekian lama ternyata segera disambut oleh kehangatan pelukan rekan-rekan dan ustadzah-ustadzahnya disana. Dan serta merta pertanyaan itu terungkap oleh saudari-saudarinya tersebut…

“Ukhti sedang punya masalah?”

“Ada yang bisa ana bantu ukh?”

“Jika ukhti punya masalah, ukhti bisa cerita ke kami.”

Ajaib!! Serta-merta bantuan yang sesungguhnya tidak ia harap-harapkan tiba-tiba datang begitu saja. Rengkuhan ukhuwah yang hangat tersebut akhirnya mampu melunakkan hatinya untuk mengungkapkan permasalahan yang sebenarnya masih sedemikian menghimpitnya. Para pendengar setia ini mendengarkan dengan seksama dan mencurahkan segala daya upaya mereka untuk meringankan gundah saudarinya ini. Singkat cerita… dengan energi baru yang berlipat-lipat, hati yang plong dengan solusi, ia kembali ke Jakarta dengan kondisi pikiran yang lebih segar. Siap menghadapi tantangan-tantangan baru di ruang-ruang aktivitasnya.

Kisah tersebut membawa kita pada sebuah perenungan, tentang apakah sebenarnya yang telah menggerakkan rekan-rekan dan ustadzah dari si Akhwat ini, sehingga mereka secara spontan dan naluriah segera dapat menyadari akan adanya masalah yang sedang melanda si Akhwat dan secara proaktif menawarkan bantuannya tanpa menunggu curahan hati si Akhwat. Padahal si Akhwatpun sejak awal tidak sedikitpun berniat untuk memberatkan pikiran saudari-saudarinya tersebut dengan masalahnya. Mungkin kita akan secara otomatis mengungkapkan satu kalimat: “Itu semua karena ukhuwah…”. Namun, apakah sesederhana itu penjelasan dari semua fenomena tadi? Apakah fenomena tersebut muncul begitu saja seiring kedekatan yang telah terjalin bertahun-tahun?

Sekarang aku coba mengajak kita semua untuk mungkin sedikit merenung tentang kejadian sejenis yang mungkin pula kita alami dengan bentuk yang berbeda. Mungkin kejadian-kejadian lain ketika kita merasakan adanya kemudahan dan bantuan yang tiba-tiba datang tanpa kita sangka-sangka. Momen-momen yang ternyata jika kita pikirkan lebih dalam, sebenarnya telah menyelamatkan diri kita dari lenyapnya hidayah yang bisa terjadi kapanpun tanpa kita mampu mengelaknya. Mungkinkah itu semuanya muncul begitu saja seiring semakin lamanya kita berinteraksi dengan rekan-rekan kita tersebut?

Satu ucapan akh Ginanjar yang segera menyentak pikiran saya…

Kita nggak akan pernah tahu kapan doa rabithah yang kita ucapkan akan terkabul!

Doa yang sedemikian fasih terucap dari lisan-lisan kita itu, yang mungkin saking seringnya diucapkan mungkin kerapkali terasa kosong tanpa ruh sehingga menjadi lantunan hafalan yang terucap spontan saja. Pernahkan terlintas dipikiran kita bahwa kemudahan-kemudahan dan bantuan-bantuan saudara-saudara kita seiman yang muncul di keseharian aktivitas kita mungkin saja merupakan jawaban Allah terhadap doa Rabithah kita selama ini? Akh Ginanjar pun melanjutkan dengan sedikit gurauan…

Bahkan mungkin doa-doa ma’tsurat kita semasa di pondok dulu yang ‘terpaksa’ kita ucapkan ba’da subuh dan maghrib karena telah menjadi acara wajib yang tidak bisa kita elakkan. Tanpa kita sadari doa itu mungkin telah terkabul dalam bentuk kemudahan-kemudahan yang kita rasakan, dan bantuan yang tidak kita sangka-sangka. Meskipun doa itu terucap setengah terpaksa keadaan.

Dari sinilah kemudian ada baiknya kita memaknai lebih dalam tentang doa yang begitu akrab dengan kita ini. Sesungguhnya jika kita renungkan doa tersebut lebih dalam dan apa yang terjadi dengan diri kita sebagai makhluk, maka kita temukan bahwa sesungguhnya faktor terbesar yang membuat kita tetap istiqamah dalam naungan diin-Nya mungkin bukanlah ikhtiar kita untuk senantiasa dekat dengan saudara-saudara kita, melainkan keridhaan dan kehendak Allah untuk tetap mempertemukan kita dengan saudara-saudara kita tersebut. Maka dari itu secara pemaknaan sendiri, doa rabithah ini sebenarnya terdiri dari dua bagian:

Bagian pertama:

Allahumma… Innaka ta’lam anna hadzihil quluub (Yaa Allah… sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini…)
qad ijtamaat alaa mahabbatik… waltaqqat ala Thaa’atik… (telah berkumpul dalam kecintaan pada Mu, dan bertemu dalam ketaatan kepada Mu…)
wa Tawahhadat ala da’watik… wa ta’aahadat nashrati syari’atik… (dan bersatu dalam dakwah/seruan Mu… dan berjanji/berikrar untuk membantu/memenangkan syari’at Mu…)

Pada hakikatnya bagian pembuka doa rabithah ini bukanlah suatu bentuk permohonan. Bagian ini sebenarnya suatu bentuk pengakuan seorang hamba terhadap ketentuan yang telah menjadi kehendak Allah terhadap dirinya dengan penuh kepasrahan dan keikhlasan. Bagian ini adalah pengakuan kita bahwa tidak ada kekuasaan apapun yang kita miliki sehingga kita berkumpul dalam jama’ah dan komunitas yang sama, melainkan karena keridhaan Allah terhadap keberadaan kita disini.

Selanjutnya, setelah kepasrahan yang kita berikan tersebut, di bagian kedua/akhir masuklah kita pada rangkaian permohonan:

fa watstsiqillahumma rabithatahaa…
wa adimmuddahaa… wahdiha subulahaa…
wamla’haa bi nuurikalladzi laa yakhbuu…
Wasyrah suduurahaa bi faidzil iimaanubik…
wa jamiilit tawakkuli alaik…
wa ahyihaa bi ma’rifatik…
wa amithaa ala syahaadati fii sabiilik…
wa amithaa ala syahaadati fii sabiilik…
wa amithaa ala syahaadati fii sabiilik…
innaka ni’mal maulaa… wa ni’mannashiir…

Kita memohon supaya ikatan hati yang kita rasakan ini dikekalkan oleh-Nya, dst…, dst…, hingga di permohonan pamungkas, kita meminta untuk dimatikan bersama saudara-saudara kita tersebut bersama-sama dalam predikat kematian tertinggi dan paling mulia, yaitu dalam kesyahidan. Sesungguhnya pada bagian ini kita tidak sedang mendoakan diri kita sendiri. Kita sedang mendoakan agar kita memperoleh kebaikan, dan kita ingin agar saudara-saudara kita menerima kebaikan yang sama baiknya (dan bahkan mungkin lebih). Ditengah ucapan (yang semoga kita ucapkan dengan) tulus pada fragmen terakhir itulah, sesungguhnya kita sedang berusaha berikhtiar menempatkan diri kita dalam tingkatan ukhuwah tertinggi, yaitu itsar. Memberikan permohonan terbaik kita disela-sela doa harian kita bagi mereka, saudara-saudara yang kita coba untuk jauh lebih kita cintai dibanding diri kita sendiri.

Dan pertanyaan penutup… sudahkah perasaan kita menyertai permohonan yang terucap dalam doa kita tersebut?

Ardee’est Things in My Life
[Menjelang dzuhur, Ganesha, 31 Mei 2008]
Teruntuk saudara-saudaraku, Uhibbukum Ahsanu Mahabbatu Fillah

Aku lebih cinta matiiiii… daripada kamu!!

“Aku cinta matiiiii… daripada kamu!!” by Admiring Pelangi

[Serius… ini fiksi lho, cuma sekedar cerpen iseng nan spontan]

“Say, aku cinta kamu!”

Akhwat yang diajak ngomong itu bengong. Jangankan tersentuh, kebayangpun nggak dengan apa yang barusan dicelotehkan si Cowok sableng itu.

“Ah… masa’ sih? Serius?” sahut si akhwat kesal.

“Seriuuuussss deh, aku cintaaaaaa banget sama kamu!” jawab si cowok dengan tampang memelas.

“Hmmm… kamu berani ngelamar aku hari ini juga?”

Si cowok diam, sekarang giliran dia yang bengong ditodong seperti itu.

Ngh… aku mau kok nikahin kamu, tapi… masak iya secepat itu?”, tanyanya ragu.

“Lho, emangnya kenapa?” tanya akhwat itu menantang.

“Ngh… ya… kita kan belom terlalu mengenal.” jawab si cowok sambil garuk-garuk kayak beruk diatas pohon kapuk.

“Lhah… nah, itu dia! Kok bisa kamu ngomong cintrong?”, introgasi si Akhwat berubah jadi segalak polwan baru lulus Sepolwan Pasar Jumat.

“Menurut aku kamu baek, pinter, solehah, bla bla bla…” jawabnya sambil terus mengabsen sifat si akhwat yang ada dalam bayangannya.

“Nah… nah… nah…” potong si Akhwat, “katanya nggak kenal aku. Tapi kok… kayaknya malah kamu yang lebih kenal diriku dibanding diriku sendiri?”.

Si cowok mati kutu… persis kayak kutu dipites pake kuku. Dia terdiam salting sambil sesekali menggaruk kepalanya yang nggak gatal sama sekali.

“Yo wis lah… gini deh, kalo emang kamu cinta sama aku, aku mau kamu ngaji! Mentoring sana… baru bilang cinta sama aku.”

Dengan garukan yang semakin keras, si cowok nggak berkata apa-apa. Cuma manggut-manggut walaupun bingung. Seumur-umur, dia ngaji cuman waktu SD, semasa masih ikut TPA. Itupun kabur-kaburan, berhubung harus mengejar jadwal rutin ‘penting’ seperti Satria Baja Hitam RX dan Saint Seiya yang dijamin mendidik anak-anak indonesia jadi superhero yang siap menyelamatkan profit perusahaan multi nasional dan diberdayakan jadi buruh elit di perusahaan asing.

Si cowok dengan langkah gontai berbalik meninggalkan medan pertempuran. Tapi… tiba-tiba langkahnya terhenti. Kayaknya masih ada yang mengganjal pikirannya yang sehari-hari gak pernah jauh dari analisis seputar pertandingan Serie A atau strategi memenangkan PES, WE, CM dan berbagai game lainnya. Dan iapun belum menyerah…

“Tapi… aku serius loh, Ful…” *berhubung sebenernya nama karakter nggak penting di cerita ini, kita kasih nama aja si Akhwat ini dengan Fulanah*

“Serius apa?” potong si Akhwat dengan nada lembut tapi nyelekit, menusuk dalam-dalam hati cowok yang kurang baik dan tidak rajin menabung itu.

“Ak… Aku…” katanya ragu, “Aku cinta kamu karena Allah lho!!” lanjutnya berusaha memberanikan diri. kata-kata itu terlintas begitu aja ketika dia ingat dengan sebuah artikel di blog saat disuruh membuat makalah kuliah Agama dan Etika Islam. Sejujur-jujurnya, Ia nggak tau pasti arti dari kata-kata itu secara persis.

*Gedubrak* Si Akhwat bingung antara harus geli dengan kata-kata itu atau pengen nonjok si pahlawan cinta monyet yang ia sendiri lupa kenal dimana. Pengen rasanya jurus pamungkas taekwondonya Ia keluarkan. Tapi tiba-tiba bidadari virtual nan cantik di sebelah kanannya berkata lembut, “sabar atuh ukhti… kesempatan nih, ayo dingajiin! Target potensial nih…”. Ia pun menarik nafas puaaaaannjjjjang, lalu…

“Huh… Iya deh… terserah kamu. Aku juga cinta kamu karena Allah…”

Betapa berbunga-bunganya si Cowok sableng itu mendengar kata ‘cinta’ yang ditujukan padanya.

“Tapi…” lanjut si Akhwat membuyarkan proyek kebon bunga yang baru saja menggusur lapangan bola di hati si Ikhwan, “pokoknya gak mau tau, aku pengen kamu mentoring dulu… Titik!!” lanjutnya sambil segera ngeloyor pergi dengan perasaan yang sudah mumet dengan serbuan mendadak si cowok di musim Ujian Akhir Semester kayak sekarang ini.

“Eh… eh…” sahut si Cowok kebingungan kayak pejabat korup ketangkep basah KPK.

“Seriuuuuuusss… Ful! Aku cinta mati sama kamu!” teriaknya pada si Akhwat yang semakin jauh.

Si Akhwat menoleh sebentar,

“Tapi aku lebih cinta mati daripada kamuuuu!!!” balasnya yang disambut dengan sunyi, bersamaan dengan semakin mematungnya si Ikhwan.

***

Sembilan bulan lebih sembilan hari kemudian…

Seorang ikhwan masuk kedalam mesjid bersama rombongan keluarganya dengan muka cengengesan yang nggak bisa ditahan. Dia menyapa beberapa temannya. Mereka adalah teman satu kelompok mentoringnya. Gerombolan anak nongkrong, yang sama-sama berusaha belajar tentang Tuhan dan Agamanya.

Begitu matanya melirik sedikit pada bidadari bergaun putih yang sudah sejak tadi nangkring di barisan Akhwat yang tersekat hijab, tiba-tiba dadanya kembang kempis. Terasa panas dingin bulu kuduknya melihat bidadari yang dalam hatinya yang paling dalam ia harapkan jadi pendampingnya di surga kelak. Si bidadari tertunduk saja, sama dag-dig-dugnya dengan calon presiden RRT (Republik Rumah Tangga) itu. Singkat cerita, prosesi akad berjalan lancar dan sukses walaupun sempat diwarnai kericuhan karena si Ikhwan saking gugupnya lupa dengan nama calon istrinya itu dan malah mengabsen mantan-mantan pacarnya semasa masih berandalan dulu. Setelah prosesi, kedua mempelai segera diboyong ke tahta mereka sebagai sepasang manusia paling bahagia di hari itu.

“Ful… ful…”

Di tengah langkah gemulai bak pameran busana pengantin, si Ikhwan tiba-tiba memanggil perempuan yang menggandengnya itu dengan setengah berbisik.

“Apa kang?” jawab si Akhwat malu-malu.

“A… aku cinta mati sama…”

“Ssst…” belum sempat melanjutkan, si Akhwat memberi isyarat kepada pangerannya itu untuk tidak melanjutkan.

“Aku lebih cinta mati daripada kamu.” lanjutnya dengan senyuman.

Si ikhwan termenung sebentar, lalu dengan senyum sumringah dia menanggapinya…

“Aku juga lebih cinta mati daripada kamu…” ucapnya berbisik, “Aku ingin mencintai mati, sama sepertimu.” lanjutnya dengan nada bersungguh-sungguh.

Bidadari itu menjawabnya dengan senyum. Senyum penuh arti yang diiringi lantunan doa yang sejak bertahun-tahun lalu begitu akrab dengan lisannya.

Allahumma… Innaka ta’lam anna hadzihil quluub
qad ijtamaat alaa mahabbatik… wal taqqat ala Thaa’atik…
wa Tawahhadat ala nashrati syari’atik…
fa watstsiqillahumma rabithatahaa…
wa adimmuddahaa… wahdiha subulahaa…
wamla’haa bi nuurikalladzi laa yakhbuu…
Wasyrah suduurahaa bi faidzil iimaanubik…
wa jamiilit tawakkuli alaik…
wa ahyihaa bi ma’rifatik…
wa amithaa ala syahaadati fii sabiilik…
wa amithaa ala syahaadati fii sabiilik…
wa amithaa ala syahaadati fii sabiilik…
innaka ni’mal maulaa… wa ni’mannashiir…

Dan ucapan pangerannya tadi menjadi hadiah paling romantis baginya di hari paling istimewa sepanjang hidupnya itu.

*** tamat ***

Ardee’est Things in My Life
[Menjelang maghrib, Ganesha, 29 Mei 2008]
Yaa Allah berikan murabbiyah terbaik bagi anak-anakku

Sabar Unlimited: Karena sabar nggak berbatas

Kata orang tua, sabar itu nggak berbatas…
Kalau berbatas, namanya bukan sabar…
tapi sekedar penantian…

Menunggu sesuatu yang dinanti…
Menanti sesuatu yang ditunggu…

Sampai kapan penantian itu berakhir?
Tak berbatas… karena kita tidak akan pernah tahu
Jalan yang IA sediakan bagi kita…

Kita hanya diminta menunggu, dan terus menunggu
bersama ikhtiar yang tak habis-habis
bersama doa yang tak putus-putus
bersama prasangka baik terhadap Sang Pemilik Nasib

Jika yang dinanti itu tidak kunjung datang
maka lapangkanlah hati kita…
Karena itu mungkin washilah-Nya…
Untuk menjadikan kita orang yang kuat

Dan jika saat itu tiba… sesuai pinta kita
Sesungguhnya belum pantas kita lepas bergembira
Karena mungkin itu hanya sekedar ujian lainnya…
Akankah kita bersyukur… atau lupa dan kufur

Entah saat itu kapankah akan tiba…
Yaa… Allah Rabb penguasa hati-hati yang memohon lirih
Tundukkan hati ini dalam keridhaan atas ketentuan-Mu

“Haadza min fadhli rabbi, liabluanii a asykur, am akfur…”

Ya Allah, setidaknya…

Akhir-akhir ini saya tiba-tiba takut ketemu jalan raya. Bukan lantaran punya pengalaman dipalak ato trauma karena pernah kena musibah di jalan raya, tapi nggak tau kenapa begitu ada di jalan raya saya langsung inget sama kematian. Bawaannya paranoid aja kalo udah ketemu jalanan semisal mau naik angkot ato nyebrang jalan. Saya sendiri nggak masalah dengan paranoia yang saya rasakan itu, Justru Alhamdulillah malah ada hikmahnya juga ternyata. Sekarang, kalo mo nyebrang jalan, naik angkot, atau turun angkot, Alhamdulillah spontan aja saya mengucap basmalah.

Takut mati sih nggak, cuman sedikit waswas kalo-kalo saya lupa baca basmalah trus terjadi apa-apa. Coba kalo ternyata tiba-tiba saya ketabrak angkot, keserempet truk ato seringan-ringannya nyemplung ke galian kabel. Mending kalo cuma celana robek, kena air comberan, ato ada lecet,luka, ato patah tulang, lha… kalo justru menemui ajal disitu, bisa gawat! Bisa-bisa keancam nggak husnul khotimah… walaupun pernah mesantren 4 taon di pesantren bernama Husnul Khotimah.

Hal ini ternyata kebawa-bawa juga selama perjalanan ke Kuningan dua minggu lalu dan Ciamis ahad kemarin. Diatas Elf (Angkot segede L300) antara tegallega-ciamis basmalah dan istighfar itu spontan aja keucap sepanjang perjalanan. Kebayang kan, gimana rasanya kalo bus ngebut itu ‘goyangannya’ kayak gimana? Nah… berhubung bodinya yang lebih kecil dan manuvernya yang lebih lincah, Elf yang beraksi di jalanan goyangannya kerasa lebih parah lagi. Apa lagi kalo udah lewat tikungan dan si supir ngebut seenaknya, kayaknya nyebut doa safar berulang-ulang serasa kurang apdol.

Campur aduknya perasaan antara mabok-puyeng karena goyangan si Elf dan bayangan kematian yang seakan-akan udah siap menjelang kalo lagi papasan dengan bus ato truk udah sulit dibedain. Tapi mungkin saking udah pasrahnya, rasa takut mati justru udah ilang. Sempet juga ada bayangan-bayangan berkelebat, diikuti pertanyaan

“Ya Allah… aku masih sempet nikah nggak ya?”

Tapi terus tiba-tiba pertanyaan itu berubah jadi permohonan…

“Ya Allah, please dunk… aku mohon banget… Setidaknya berikan aku mati syahid kalau engkau berkehendak aku mati disini…” dan tiba-tiba perasaanku lebih plong walaupun mulutku tetep nggak mau berhenti komat-kamit mengucap basmalah berulang-ulang.

Ternyata pengalaman mengingat maut itu belum berakhir sampe aku turun Elf sodara-sodara! Aku turun di desa Lumbung Sari, Kecamatan Lumbung, Ciamis. Tau nggak pemandangan apa yang pertama aku temui disitu? Ternyata ada yang baru aja meninggal sepertinya baru akan segera dishalatkan sedang aku diturunkan pas didepan masjid desa. Jadi, kesimpulannya… yang pertama kali kulihat adalah keranda mayat yang sedang dibawa oleh rombongan laki-laki diikuti oleh ibu-ibu yang membawa makanan dalam panci.

Sedikit hikmah yang bisa kuambil dari fenomena tersebut, orang desa lebih baik hati ketimbang orang kota. Hah… dapet dari mana tuh kesimpulan? Ternyata begini, kalo di kota, biasanya keluarga yang berduka cita kadang jadi direpotkan dua kali lipat lantaran selain harus mengurus jenazah juga harus menjamu pelayat. Kalo disini… begitu ada yang meninggal, tetangganya langsung melayat sambil membawa makanan kerumah duka untuk dimakan bersama. Setidaknya kulihat hal ini meringankan penderitaan dan kerepotan pihak keluarga yang ditinggalkan.

Sebenernya pengalaman menegangkannya bukan disitu… tapi beberapa saat setelah aku kabur dari kerumunan itu, solat di mesjid yang lain dan tepar ketiduran saking capeknya serta maboknya naik Elf tadi. Si bapak Doli yang jadi alasanku ke ciamis ini ternyata tidak disitu, tetapi sedang berada dikolam yang letaknya di desa yang berbeda. Aku dianter oleh seorang bapak-bapak yang nyaris nggak bisa bahasa selain bahasa sunda ciamis. Bahasa Indonesianya asli terbata-bata secara sah dan meyakinkan. Aku cuma bisa tersenyum dan ber “he-eh… he-eh…”ria sepanjang perjalanan, sambil meringis setiap tikungan yang kami lewati. Halah… gimana nggak? Dengan kondisi jalan penuh tikungan yang mendaki gunung, lewati lembah ala ninja hattori, si bapak itu membawa motornya miring ekstrim kayak Valentino Rossi yang biasa kita liat di tipi-tipi. Ya ampun… Ya Allah… please lah… seenggaknya kalo aku mati… tolong dunk… lurusin niatkuuu! Niatku lurus kan ya Allah? Aku kesini dalam rangka ngurus TA-ku… Jadi please ya Allah… setidaknya matikan aku dalam syahid!!!

Dan ternyata ekspresi kusut dan mabokku ini jelas terlihat sama rombongannya pak Doli. Disitu kulihat Dosen Pembimbingku -Bu Pingkan- serta putrinya yang [sayangnya] masih SMP, Pak Indra Jati (Dosen Sipil yang Eks. Dirjen Dikti), Pak Doli beserta anak istrinya. Mereka sedang melihat kolam tempat uji coba pakan organik untuk ikan. Selain itu ada juga Pak Ajat, Pak Usup dan beberapa petani ikan lokal yang dibina sama Pak Doli. Setidaknya 5 kali aku ditanya dengan pertanyaan yang sama oleh 5 orang yang berbeda. Pertanyaannya: “Kamu capek yah?”. Berjam-jam kemudian, setelah aku sampe di Husnul Khotimah dan ketemu cermin baru aku nyadar seberapa kusutnya tampangku.

Ngomong-ngomong soal Husnul khotimah, aku jadi inget satu moment zikrul-maut lagi. Kolam ikan dan Rumah Pak doli letaknya ada di desa Panawangan, beberapa puluh kilo dari perbatasan Ciamis-Kuningan. Jarak dari Kuningan yang nggak seberapa jauh (hehehe… belom tau dia…) menerbitkan ide untuk mampir ke Husnul Khotimah dan pulang via jalur Cirebon – Majalengka – Sumedang. Nah… berhubung baru pertama kali  ngejajal daerah sini, aku baru tahu, jalan antara Ciamis-Kuningan itu berkelok-kelok dengan tanjakan yang curam kayak daerah puncak bogor. Aku juga baru tahu kalo supir bus di rute ini ugal-ugalannya minta ampun.

Saat itu sudah sekitar jam setengah 7 malam. Aku yang jadi penumpang ngerasain seakan bus itu lebih cocok disebut ‘ngesot’ ketimbang ‘ngebut’. Saking gedenya gaya sentrifugal (*halah* bener gak ya?) yang sanggup membuat pantatku bergeser kesana-kemari di kursi berderet 3 yang kosong. Udah nggak kepikiran lagi untuk tidur saat itu. Disini, bukan cuma basmalah lagi yang terucap. Setiap tikungan aku mengucap istighfar berulangkali. Ya Allah… seenggaknya kalau memang aku nggak sempet mendapatkan bidadari dunia… setidaknya segerakan aku bertemu dengan bidadari akhiratmu ya Allah…

Dan ternyata setelah doa itu ku ucap, aku ketiduran…

Jika Esok Selalu Berarti Kematian

Jika Esok Selalu Berarti Kematian

[Markaz, 26 Mei 2007; “Ada atau tiada, resah itu akan tetap ada”]

Jika esok selalu berarti kematian…. Tidak pernah ada alasan untuk berhenti tersenyum. Tak ada kata henti untuk membuat sekeliling kita tersenyum. Karena mungkin inilah kesempatan terakhir kita untuk meninggalkan kesan terindah bagi orang-orang disekitar kita.

Jika esok selalu berarti kematian…. Tidak pernah boleh ada kata cukup untuk berkarya. Mungkin tak pernah boleh ada kata puas dalam menggores catatan sejarah. Karena mungkin hanya ini waktu yang Allah sisakan bagi kita untuk menjadi pelaku sejarah.

Jika esok selalu berarti kematian…. Tidak pernah ada kesempatan untuk lelah berteriak lantang akan arti sebuah kebenaran. Tak juga untuk sejenak letih mengerang melawan ketertindasan. Karena mungkin hanya itu jalan yang tersisa bagi kita untuk menapak jejak penghuni surga.

Jika esok selalu berarti kematian…. Tidak ada pilihan selain bergegas membenah setiap alpa yang tercecer sepanjang jalan hidup kita. Tidak boleh ada lagi penundaan untuk setiap maaf yang harus terucap. Karena mungkin hanya celah itulah kesempatan untuk memohon keringanan di akhirat kelak.

Jika esok selalu berarti ajal untukku, maka senja harus selalu menjadi akhir terindah dengan pelangi menghiasinya. Setiap gores tulisan ini harus selalu menjadi catatan indah tentang hari-hari yang menakjubkan dalam hidupku. Setiap ucap harus membawa limpahan hikmah yang tak habis-habis dan menjadi inspirasi. Bahwa tulisan ini harus senantiasa membawa senyum bagimu…. siapapun kamu. Karena kuingin setiap tulisan ini berarti sejuta kesan bagimu…. siapapun engkau.

Sayang sekali aku senantiasa lupa bahwa hari ini hari terakhirku, yang seharusnya selalu menjadi hari terindah. Karena itu aku selalu iri dengan senja….. yang tidak jua berhenti memancarkan indah walau gelap malam senantiasa mengintainya. Yang seakan senantiasa mengajak untuk tidak berhenti menciptakan pelangi indah bagi dunia. Karena itu aku gundah, Senja…..!