Ketika ajal datang……
Innalillahi wa
inna ilaihi raajiuun….
Seorang rekan baru saja ditinggal
ayahandanya, sebuah kejadian yang dapat terjadi pada siapapun. Sungguh begitu
mudah Allah mencabut nyawa seseorang sehingga tidak satupun dari kita
makhluknya dapat berkelit sedikitpun dari ketentuan yang Ia gariskan. Jadi
ingat masalah dzikrul maut…… (gila….. kemana aja waktu yang udah gue
abisin nyaris 25 tahun ini). Tiba-tiba saja ingat dua setengah tahun lalu saat
wafatnya rekan Sigit Firmansyah.
Apa yang kurang dari seorang Sigit? Prestasi
akademik yang subhanallah bagus, penulis buku, juara essay ”visi itb 2020”,
aktivis lagi. Banyak orang memprediksikannya sebagai calon presiden selanjutnya
setelah Anas Hanafiah. Dengan segala kelebihannya, tidak akan ada yang mengira
bahwa Ia wafat diusia yang masih begitu muda. Ya…. usianya kurang lebih sama
dengan saya. Jika saja masih hidup beliau berumur 25 tahun. Saat wafatnya, ada
begitu banyak orang yang melepas kepergiannya. Seorang tokoh yang disegani baik
oleh rekan maupun lawan.
Memoriku mengajak untuk flashback ke dua
tahun lalu, pertengahan tahun 2005. Kakek (atau biasa kusebut eyang kakung)
meninggal dunia diusia beliau yang telah lewat 8 dekade. Subhanallah,
perjalanan hidup yang begitu panjang. Usia puncak untuk menjadi bijak. Figur
yang tegas, humoris, disiplin dan sangat rapi dalam pengarsipan. Sifat/talent-nya yang menurun kepadaku
adalah ”input” suka sekali mengumpulkan barang, mengabadikan peristiwa,
kejadian. Semoga Allah memberikan akhir yang baik dalam ridhonya.
Beberapa bulan sebelumnya, sebuah bencana
nasional terjadi. Saat dengan tiba-tiba tsunami raksasa menimpa Asia Selatan
dan tenggara, meluluh-lantakkan Serambi Mekah. Kemudian bertubi-tubi bencana
datang silih berganti dari mulai kelaparan di Papua, gempa Nias, banjir
dimana-mana, lumpur Lapindo hingga berbagai kecelakaaan transportasi massal.
Sebuah pertanyaan tersisa, inikah sebuah dzikrulmaut massal yang Allah
tunjukkan bagi kita semua yang masih ada sekarang? Atau sebenarnya ini
merupakan early warning dari-Nya bagi kita, sebelum Bencana yang lebih parah
menghukum kita?
Berbicara tentang kematian kembali aku
teringat kilasan peristiwa yang aku alami saat masih di SMU. Suatu peristiwa
yang sesungguhnya begitu mudah bagi Allah untuk membuatku menjadi yatim-piatu.
Ya…. sebuah kecelakaan menghempaskan suzuki Carry yang ditumpangi oleh kedua
orangtuaku plus dua orang adikku, mobil itu berguling dijalan tol. Sesungguhnya
saat sejenak tadi kuingat kembali, kusadari bahwa sebuah anugerah bahwa keluargaku
masih lengkap. Tak terbayang jika tidak ada lagi ibu yang tak habis-habisnya
mensupportku dengan taushiyah dan nasihat saatku terpuruk seperti bulan-bulan
kemarin. Tak terbayang jika ketegasan dan sifat keras ayah yang menyadarkan ku
saat aku mulai hilang arah.
Sebuah renungan kembali membawa ku saat
syaikhuna Ust. Rahmat Abdullah pergi. Aku mulai membaca artikel beliau justru
setelah beliau wafat. Sesosok figur yang tak hilang semangatnya walau telah
tergilas usia. Tutur bahasanya nan lembut dalam setiap artikel yang beliau
layangkan di berbagai media menandakan kecintaan yang amat sangat pada para
mad’unya, kepada da’wah ini, kepada bangsa ini, kepada umat ini.
Pikiran ku kembali berputar, teringat
beberapa minggu yang lalu. Alda Risma, secepat kilat popularitasnya kembali
melejit setelah lama terpuruk. Bukan sebagai seorang bintang sukses atau
seorang politikus, melainkan sebagai seonggok mayat korban pembunuhan. Tak lama
sebelumnya, sebuah berita menggemparkan menghiasi media saat seorang tokoh ditemukan
meninggal saat berada dihotel bersama teman kencannya. Berita-berita itu
semakin menambah ruwetnya gembar-gembor media infotainment yang tak
henti-hentinya meracuni masyarakat kita.
Perjalanan pikiranku terhenti disebuah
pertanyaan, ”jalan seperti apakah yang Allah gariskan bagi kita di ujung pintu
kehidupan kita?”, korban bencanakah? Korban kasus kriminalkah? Korban sebuah
kecelakaankah? Sebagai seorang pahlawankah? Koruptor? Pelaku kriminal? Atau
apa?
Dengan ragu yang tak pernah hilang,
khawatir bahwa apa yang selalu kita sebutkan dalam doa rabithah kita tidak
terwujud karena begitu besarnya kemunafikan dalam diri ini, tiba-tiba aku
tertunduk. Mungkin aku tidak menangis, tapi ada rasa sesak didada yang tiba
muncul. Akankah aku yang hina dina ini masih pantas untuk singgah dalam ridhomu
ya Allah? Sedikit menghibur diri, terngiang rangkai wahyunya yang masih dan
akan selalu terngiang selalu, “Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah… irji’i ilaa
rabbiki raadhiatam mardhiyyah, fadkhulii fii ibaadi wadkhulii jannatii”….
Akankah lantunan itu yang akan menyambutku di ujung hayat?