Category Archives: psikologi

Bercermin pada Ketidak-dewasaan

Bercermin pada Ketidak-dewasaan

[Markaz, 27 Mei 2007; “Ya Rabb, jadikan futurku, bangkitku, tidurku,dan bangunku hikmah”]

Kali ini aku ingin membahas kembali tentang masalah kedewasaan lagi. Bukan ingin protes atau menggerutu tapi mencoba berbagi hikmah tentang apa yang ku renungkan. Ini tentang keajaiban yang kita sebut “masa kecil”, dan tentang anugerah lainnya yaitu “dewasa”. Dua hal yang sering kita benturkan, seakan-akan sifat childish merupakan “musuh” dari kehidupan sebagai individu dewasa.

Semua itu berawal dari kekuatan dahsyat imajinasi

Pernah kebayang gak seandainya teknologi telekomunikasi gak pernah berkembang, mandeg alat komunikasi kita itu-itu aja. Bayangin gak pernah ada teknologi yang kita sebut GSM, CDMA, GPS, PDA, Wi-fi, atau yang lagi rada booming teknologi Handphone 3G. Bayangin juga seandainya tidak ada laptop atau PC di depan meja kerja kita. Bayangin juga seandainya sampe hari ini hanya ada telegram dan surat sebagai alat kita berkomunikasi antar daerah. Tentunya bagi kita yang sudah terlanjur dimanja dengan teknologi seperti sekarang hal itu serasa mustahil, kayak balik ke zaman batu katanya mah….!!

Kemarin saya baru saja menonton film dokumenter di Metro TV yang keren abis!!! Film itu cerita tentang rahasia dibalik kemajuan teknologi telekomunikasi, yang secara khusus menyoroti Perusahaan Samsung. Film ini keren banget karena merangkum semua yang secara teoritik telah disampaikan pak Gde Raka di Maninov, Pak Joko Siswanto di Sistem MSDM, dan Pak Iwan di Psikologi Industri. Dengan kata lain, film ini isinya TI banget, tapi disini saya hanya akan membahas aspek rekayasa dan inovasinya aja.

Berterimakasihlah pada otak-otak kreatif yang membanjiri industri telekomunikasi dengan ide brilian yang tidak habisnya. Tanpa kita sadari dari “kepolosan” imajinasi mereka, kebebasan pikiran mereka dan terutama gejolak kreativitas yang tanpa batas, hal yang dulunya mustahil kini menjadi nyata dan biasa bagi generasi post-modern ini. Itu semua tanpa kita sadari sebenarnya muncul dari pola berpikir kekanak-kanakan mereka, para desainer produk itu. Contoh kecil itu, plus sederet ilmuwan sekelas Newton, Da Vinci, Ibnu Sina bahkan Einstein sekalipun cukup untuk menjadi suatu alasan bahwa imajinasi kekanak-kanakan bukan suatu pantangan untuk menjadi lebih dewasa.

Harmonisasi sisi dewasa dan kanak-kanak kita

Namun kemudian muncul suatu pertanyaan, lalu mengapa ketidakdewasaan menjadi suatu masalah besar bagi sebagian orang. Mengapa kemudian ia seakan menjadi suatu penyakit yang harus dijauhi. Apa dengan meninggalkan sifat kekanak-kanakan kita akan membantu kita untuk semakin berwatak dewasa? Apakah sifat kekanak-kanakan kita adalah aib yang harus dibuang agar kita dapat menjadi manusia seutuhnya. Atau justru orang yang alergi dengan ketidak dewasaan tadi hanyalah orang dungu berpikiran dangkal yang jauh dari kemauan berkembang.

Sekali lagi menghindar dari menggerutu, kemudian saya pikir justru malah ada hikmahnya Allah memnyisakan sifat ketidak dewasaan dalam pikiran dewasa kita. Justru sifat ketidak dewasaan kita adalah alat kita untuk bercermin menjadi lebih dewasa. Kadang kekakuan pikiran dewasa kita membuat pikiran kita menjadi terlalu rumit dan njelimet dalam melihat masalah. Masalah sekitar kehidupan kita yang ribet itu mungkin saja justru menemukan solusinya dalam imajinasi childish kita yang sederhana, polos dan naif. Terbukti dari studi kasus teknologi HP Samsung diatas.

Tentunya pendapat saya ini bukan suatu keberpihakan terhadap sifat kekanak-kanakan. Justru baik sisi kanak-kanak kita maupun sisi dewasa kita harus berjalan harmonis agar hidup kita menakjubkan. Keduanya sebaiknya kita lihat sebagai dua sisi mata uang yang saling menguatkan satu sama lain. Karena sisi kekanak-kanakan yang terlalu dominan pun membuat kita rapuh terhadap hantaman masalah hidup. Kita akan dengan mudah terombang-ambing dalam imajinasi kita, sehingga saat berbenturan dengan realita yang kontras kita mudah menyerah, stress, depresi.

Karena itulah aku berpikir untuk membahas sisi sebaliknya tentang ketidak dewasaan. Sisi gelap dari perilaku kekanak-kanakan yang dapat mengacaukan kehidupan kita, yaitu sikap reaktif. Suatu kelebihan dari pikiran dewasa kita adalah sistematis, runut dan teratur yang menghasilkan sikap proaktif. Hal ini sebenarnya tidak sepenuhnya berlawanan menurut saya, justru dapat berjalan sinergis dan konstruktif.

Gejolak reaktifitas dalam diri kita dapat kita manfaatkan untuk mensimulasikan perilaku kekanak-kanakan kita tanpa menunjukkannya didunia nyata. Hal tersebut mendorong kita untuk sigap berpikir, namun cermat bertindak. Dari simulasi tersebut kita dapat memunculkan pertanyaan bagi diri kita, “jika saya bereaksi begini, bagaimana feedbacknya?”.

Mungkin kesalahan yang saya alami dapat menjadi contoh, yaitu bagaimana saya kurang dapat mengontrol sikap reaktif dalam menghadapi suatu masalah. Hal ini diperparah juga dengan sifat yang agak emosional dalam menyikapi masalah tersebut. Sikap saya tersebut tak jarang berakhir konyol dan memposisikan saya dalam akhir yang memalukan. Kemudian saya sadari bahwa hal tersebut tak perlu terjadi seandainya saja saya tidak menunjukkan sikap reaktif tersebut. Dengan mengeluarkan reaktivitas saya tadi dalam imajinasi saya, maka saya dapat memprediksikan apa dampak negatifnya tanpa harus mengalaminya langsung. Dengan begitu saya dapat lebih berhati-hati dalam bersikap dan dapat merespon dengan tepat atau dengan cara lebih baik (ahsan).

Itulah mengapa saya coba menggunakan kata bercermin dalam judul tulisan ini. Bercermin dapat kita tafsirkan sebagai usaha untuk melihat sisi-sisi diri kita yang kadang luput dari pandangan kita. Begitu pula dengan proses berpikir, khususnya problem solving. Kadang ada parameter/variabel dari masalah yang kita hadapi yang tidak terlihat oleh kakunya sisi kedewasaan kita. Hal tersebut mungkin saja dapat terdeteksi oleh imajinasi kanak-kanak kita.

Kita tidak perlu sampai berperilaku kekanak-kanakan untuk dapat menggunakan “cermin” tersebut. Cukup mensimulasikannya dalam pikiran kita, yang merupakan potensi utama kita sebagai manusia. Kita dapat memulainya dengan mempertanyakan “jika aku seorang bocah 5 atau 10 tahun, bagaimana aku melihat masalah ini?”. Atau misalnya dengan membiarkan imajinasi kita “bebas berkeliaran” sejenak, keluar dari kungkungan otak dewasa kita yang aus dan kolot. Atau apapun caranya agar kita dapat melihat sisi berbeda dari masalah tersebut yang tidak kita lihat sebelumnya.

Jangan Pernah Berhenti Bermimpi

Sebagai penutup, sebagai sebuah renungan saya ingin mengajak kita berpikir sejenak tentang betapa masa kecil merupakan sebuah anugerah yang tidak pantas kita lupakan. Mungkin pernah kita lihat film anak yang menggambarkan peri yang muncul saat masa kecil namun kemudian menghilang seiring usia yang beranjak dewasa. Begitu pula dengan imajinasi-imajinasi kita, yang bisa dikatakan hampir pasti berisi tentang keadaan dunia yang lebih baik. Jika itu kita miliki saat kecil, maka kita patut bersyukur, karena banyak anak-anak diluar sana tidak seberuntung kita, yang terhimpit trauma perang, bencana atau kemiskinan sehingga tidak lagi memiliki kesempatan punya mimpi.

Berbicara sedikit tentang “dunia yang hilang” saat kita beranjak dewasa. Tanpa kita sadari kedewasaan kadang membuat kita mengorbankan imajinasi kita waktu kecil. Hasilnya potensi besar yang dapat membuat kita merubah dunia jadi lebih baik tiba-tiba saja hilang. Berganti hal-hal rutin, teratur, terstruktur yang membuat kita berpikir linier tentang berbagai hal. Entah ada artinya bagi anda atau tidak, bagi saya berhenti punya mimpi gak berbeda dengan berhenti menjalani hidup. Karena tidak ada lagi sebuah “big deal” yang kita kejar saat itu. Kita berubah tak lebih sebagai mayat hidup yang terkungkung dalam sihir rutinitas keseharian kita.

Setelah kita miliki mimpi itu, selanjutnya adalah bagaimana menggunakan pikiran dan segala effort kita untuk mencapai mimpi itu, tentunya dengan tanpa meninggalkan prinsip hidup yang kita yakini. Karena hanya bermimpi sama saja dengan koma, tidak bergerak, terbuai biusan imajinasi kita sendiri. Mimpi harusnya membantu kita menjadi lebih teguh menghadapi realita hidup. Berani bangkit saat kita diuji dengan keterpurukan dan kegagalan. Semoga kita senantiasa dapat mengambil hikmah dari hidup yang kita jalani ini agar selalu menjadi hamba dan jundi-Nya yang lebih baik.

True Colors

Di sebuah channel TV lokal Bandung tadi sore gw nonton rekaman live accoustic performance dari Phil Collins (mmm… entah sih, ato genesis ya…?). Pas kebetulan baru banget nyalain TV, dan lagu yang dibawain judulnya True Colors. Sedikit penggalan lagunya “show me your true colors, thats why I love U….. bla bla bla”, yang walo gak ngerti-ngerti amat kayaknya sih kurang lebih temanya adalah tentang bagaimana keberagaman menjadi sesuatu yang harus kita syukuri dan apresiasi. Langsung aja inget sama isu pluralisme yang sering di gembar-gemborin sama anak liberal.

Bicara soal keberagaman, berbagai sudut pandang dan latar belakang telah mengakui bahwa keberagaman yang kita temukan dalam hidup ini merupakan suatu anugerah yang tak ternilai dan potensi yang maha dahsyat. Anugerah tak ternilai karena tanpa adanya keberagaman, kita sebagai manusia dengan berbagai kekurangannya tidak dapat saling melengkapi. Potensi maha dasyat karena keberagaman memungkinkan kita untuk menciptakan kombinasi dan probabilitas yang tak terhitung jumlahnya dalam kehidupan, menyebabkan hidup kita misterius dan penuh kejutan.

Bayangkan jika kita diciptakan dengan pola pikiran yang sama, latar belakang sama, watak yang sama…. betapa membosankan dunia. Tidak akan ada perdebatan dan diskusi yang seru, rapat yang dinamis, bahkan tidak ada sebutan baik-buruk, cantik-tampan-jelek, pintar-bodoh-lemot karena semuanya sama. Bayangkan jika ada suatu problem yang harus dipecahkan, semua berpikir ke arah yang sama. Bagaimana jika itu jalan buntu? Bisa-bisa jawaban ato solusi dari masalah itu gak akan pernah ditemukan.

Dalam ilmu biologi, diversitas menyebabkan kita survive dan dapat beregenerasi hingga hari ini. Kromosom kita yang jumlahnya dari dulu segitu-gitu aja (46 biji) menyimpan entah berapa banyak kombinasi yang unik yang membuat manusia tidak ada yang identik dengan manusia yang lain. Setiap orang menjadi memiliki berbagai temperamen, imunitas yang beragam terhadap berbagai macam penyakit, berbagai ukuran tubuh yang begitu unik. Bayangkan jika tinggi setiap orang sama! Betapa tidak serunya permainan basket.

Dalam ilmu manajemen terutama jika berkaitan dengan manajemen SDM, keragaman manusia menjadi suatu keuntungan sekaligus kesulitan tersendiri. Terdapat berbagai tipe pekerja dengan keterampilan dan keahlian yang khas sehingga dapat mengisi suatu posisi yang memiliki kriteria spesifik. Negatifnya kualitas pekerja beragam, karakter psikologisnya unik sehingga treatmen bagi tiap pekerja beragam dan tidak mudah di generalisir. Tapi dalam teori yang sangat fundamental dalam ilmu manajemen yaitu teori Taylor, pada dasarnya keragaman karakteristik orang adalah potensi yang memungkinkan terjadinya suatu pembagian kerja yang optimal karena setiap orang dapat diposisikan sesuai spesifikasi dan kekhasannya masing-masing. Hal ini secara filosofis merupakan hakikat dari Teamwork yaitu kesatuan kerja yang setiap elemen didalamnya dapat saling melengkapi sehingga tercipta suatu capaian kinerja optimal.

Hukum dan aturan kemudian menjadi suatu faktor penting agar suatu keragaman dapat kita optimalkan sebagai kekuatan bagi suatu komunitas. Hukum dan aturan menjadi suatu bentuk transaksi yang menjamin bahwa kelebihan yang dimiliki seseorang pada suatu aspek tidak berdampak merugikan bagi orang yang kurang dalam aspek yang sama, yang kuat tidak menindas yang lemah.

Sebenernya pengen dilanjutin ke masalah pluralisme vs pluralitas dan fitrah hakiki manusia serta mengapa logika pluralisme itu gak logis tapi gak jadi dimasukin, ntar ajah….

Yu dadah babay…… wassalamualaikum

Our “Kyuubi”, initial writing of me…..

hm…. setelah sekian lama ga posting masih bingung mo nulis apa sebenernya. tapi I think gw harus mulai nulis2 lagi, ‘coz that’s the best way to woke “My Kyuubi” up.
Talking about “kyuubi”, this is how i call Our inner potential power beneath our soul. I take the term “Kyuubi” refering to Manga story of “NARUTO”. In that story is described that for the reason to save his village from massive destruction by a demon called “Kyuubi” (it means nine tailed demon fox which popular in many japanese folktales), the Head of Village sacrificed his life to seal that demon in the body of a baby. in the result this village saved, but in the future this baby named “Naruto” suffering discrimination from all villagers which their family and relatives gone by the attack of Kyuubi.
Naruto as a child becoming naughty and searching for love and attention from the people. Until some ninja of the village accept him as an ordinary people. From that time his journey to become a powerful and greatest ninja (and then becoming a Hokage -head of village- like his hero “the Forth Hokage/ yondaime”) begin.
The essential value of this story…. (a partial one, which i think related to the human potential) is how naruto learn to be “friendly” with his “super-duper-massive-strength” of The Demon inside his body. this super power is tends to become Dangerous for a whole Ninja world if there is no one control it. It become so powerfull power to become a greatest human for it’s owner….. if the owner know the way to control it.
I think in a real world of Us it very similar of our inner potential….., it can be very destructive or very constructive depends on the owner……
For me, my “kyuubi” is my Imagination, my idea, my thinking. For me, there is nothing I can trust more than my own thinking. Because it’s the essential power of us……