Cooking with Feeling and
Heart
[Markaz, 28 Mei 2007; “Padahal besok ujian….jam
7”]
Klo ada pertanyaan, “Aktivitas apa yang berkaitan
dengan campur-mencampur dan butuh kecermatan, tapi gak pake rumus?”, kira-kira
apa jawabannya? Kalo saya akan spontan menjawab masak!!. Ya, memasak…. suatu
aktivitas yang umum dilakukan kaum hawa, tapi herannya maestronya mayoritas
adalah pria. Bukan diskriminasi gender yak…. ini mah fenomena umumnya kayak
gitu.
Bicara soal masak memasak, sebenarnya udah lama
pengen nulis tentang tema ini. Udah pernah sih, nulis resep sup krim klo gak
salah 1,5 tahun yang lalu. Tapi sekarang mungkin tulisannya akan lebih bebas
karena sebenarnya yang ingin dibahas adalah memasak sebagai hobby dan “penyakit
keturunan”. Hehe, serem gitu malah jadinya…. abis gimana dong, klo diliat
dari keluarga Ibu, dari buyut, eyang putri, ibu, sodara-sodaranya ibu banyak
yang pinter masak.
Yang paling keren itu eyang putri ku lho….
beliau itu hebat, begitu sederhana, dan dengan keahlian tangannya uang datang
begitu saja tanpa terlalu “ngeyel” berusaha….. Saking pinter dan diakuinya
racikan tangan beliau, pesanan catering itu dateng tanpa diundang lho.
Sampe-sampe eyang yang malah kerepotan, karena dengan semakin banyak pesenan
berarti harus sedia alat produksi skala besar.
Dari “rezeki yang gak diundang” itu tanpa terlalu
disadari sejumlah anak-anaknya kini telah mapan dengan pendidikan yang cukup
tinggi. Minimal S1… beberapa bisa menlanjutkan lebih dari itu dengan usaha
mandiri anak-anaknya. Memang sejak kecil mereka dididik disiplin masalah uang
karena merasakan hidup di masa sulit transisi antara Orla dan Orba.
Balik lagi ke masak memasak, ayahku juga dapat
dikatakan gemar memasak. Bukan karena hobby, tapi tuntutan keadaan. Sekarang
beliau tak lagi bekerja, sedangkan ibu masih menjadi PNS di BATAN. Karena
itulah kemudian, sejak kami tidak memiliki pembantu otomatis ayah lah yang
memasak, karena ibu harus bekerja. Tapi bukan berarti kami sekeluarga jadi
“kelinci percobaan” untuk masakan ayah lho….. Sedikit banyak ayah juga sudah
punya skill masak sejak lama.
Dulu pun dari masak-memasak lah orangtua ku
mendapat sumber penghasilan tambahan entah sekedar membuat keripik singkong,
kering tempe, kacang bawang atau yang lain. Dan kayaknya “hoby usil ngacak-ngacak
dapur” itu paling sukses menurun pada ku….. Eksperimen pertamaku adalah saat
SD, bisnis pertama ku adalah jualan popcorn yang ku goreng sendiri (dengan
bantuan Ortu tentunya). Usaha ini kandas karena kepala sekolahku mengharuskan
jajanan di titipkan dikantin dengan bagi hasil tertentu. Aku memutuskan untuk
tidak jualan lagi, dari pada harus seperti itu karena sebenarnya keuntungannya
tidak seberapa.
Saat di pesantren pun dapur Ponpes jadi sasaran
keusilanku saat terutama kamis malam, yang menjadi “malam minggu”nya anak
pondok. Karena esoknya libur beberapa dari kami memilih begadang, kadang
mencari makanan didapur atau bikin nasi goreng. Dasar santri, yang namanya nasi
goreng itu adalah nasi yang digoreng dengan bumbu “saaya-ayana wae”, apapun yang
bisa jadi bumbu, ya.. dibuat bumbu. Entah itu terasi, kecap, cabe kriting,
garam, ato malah gula merah sekalipun. Kalo soal rasa….. yah, silahkan
dibayangkan sendiri lah….. tapi buat perut laper, apapun terasa enak apalagi
buatan sendiri.
Seiring berjalannya waktu skill-skill dasar
memasak sih udah ada ditangan, sekarang hanya masalah seberapa berani
berkreasi. Karena dari apa yang telah aku jalani dan pelajari, yang namanya
masak itu bukan praktikum kimia!! Gak ada rumus bakunya…. yang ada adalah permainan
sense, feeling and heart. Awalnya mungkin kita belajar dari resep, tapi
kemudian pas ato tidaknya rasa masakan ada di ketajaman feeling kita, bukan di
resep. Yang harus digaris bawahi disini adalah karena lidah dan hidung orang
berbeda-beda, jadi wajar jika kemudian seleranya pun berbeda.
Selain itu, sebenarnya ada kesamaannya antara
memasak dengan riset/penelitian. Persamaannya adalah kita tidak boleh gampang
menyerah saat gagal. Karena dari masakan yang gagal kita tahu dimana kesalahan
dan kelemahan kita. Nantinya dengan sendirinya feeling untuk mencapai citarasa
terbaik itu muncul dengan sendirinya.
Aku punya prinsip, “gagal/berhasilnya eksperimen
masakan kita, itulah karya kita yang harus kita pertanggungjawabkan. Maka sudah
menjadi konsekuensi si pemasak untuk makan hasil masakannya”. Jadi segagal
apapun masakan yang aku buat, aku selalu mempush diri ku untuk makan masakan
itu, seberapa gak enak pun hasilnya…. gosong? Ah biasa… Keasinan….
kepedesan…. ato gak ada rasanya…. sudah jadi resiko.
Dari prinsip itu hikmah yang bisa diambil adalah,
kta didorong untuk semakin menghargai makanan, sehingga pada kesempatan
selanjutnya kita jadi berusaha keras untuk tidak gagal. Karena bagaimanapun,
kita patut banyak bersyukur masih dapat makan makanan tersebut disaat dibagian
dunia lain ada orang yang tidak seberuntung kita misalnya karena bencana
kelaparan, perang, atau kemiskinan.
Sebenarnya ingin lebih panjang lagi, tapi beberapa
jam lagi aku ujian, jam 7. Sedangkan sekarang sudah lewat tengah malam, hampir
setengah satu. Jadi sebaiknya ku akhiri disini…. tar setelah ujian dan urusan
lain, coba aku sambung lagi….. mungkin dengan resep masakan ato hasil
eksperimen ku yang sukses. Karena gini-gini dibeberapa kesempatan hasil masakan
ku cukup diapresiasi oleh rekan-rekan, salah satunya Gulai Sapi yang kubuat
saat acara makan-makan diasrama turki (tempatnya kamil).
Wassalam….
Sunset’s Admirer