Series of Fortunate Event

22 April 2007, dini hari

Series of Fortunate Event

Believe or not….. beberapa puluh menit yang lalu saya sempat ketiduran dan bermimpi ngetik kurang lebih seperti apa yang saya lakukan sekarang. Like a De Ja Vu.

Kembali suatu episode kehidupan ku lalui, hanya fragmen kecil…. namun mungkin suatu fragmen yang “tidak biasa-biasa saja…..”. Catatan hari ini semoga merupakan serangkaian kunci dari pintu-pintu hikmah yang tersembunyi dibalik sepi senyapnya hari…. Suatu hari yang mungkin suatu saat akan terlupakan oleh orang. But at least,there is something too special to forgotten. Jadi, sedikit menunda tidur demi terdokumentasinya momen-momen yang baru saja kami lewati ini….

Hari ini akhirnya jalan-jalan kabinet terlaksana juga. Setelah berbagai lika-liku perubahan rencana…. dari awalnya ke jogja hingga akhirnya “banting stir” ke jakarta, akhirnya rombongan ini berangkat dan tiba dengan selamat. Saya ingat, walaupun sebagai panitia yang jarang ikut pembahasan (seingat saya rapat-rapat kami berjalan secara tidak efektif) sempat terbersit suatu pesimisme tentang keberjalanan acara. Terdapat ketidak puasan dikalangan rekan-rekan yang sebenarnya masih ingin ke jogja. Saat rencana berubah, tujuan utama acara pun ikut “turun harga”, kita gak terlalu berharap banyak selain adanya momen keakraban antar mantan kabinet ini. Jelas sangat berubah, awalnya kami menset acara ini sebagai suatu media transfer generasi kabinet, tetapi dengan banyaknya yang memutuskan untuk tidak lagi di kabinet, maka “studi banding” tak lagi cukup feasible. Sekarang tujuan lebih ke penguatan keterikatan antar bagian dari ex-kabinet ini.

Pagi hari pun datang, keberangkatan kami telat 1,5 jam, dengan plan benar-benar dalam kondisi yang tidak jelas. Tiba-tiba saja UI dan beberapa tokoh membatalkan….. untung saja, kepanitiaan ini diisi oleh orang-orang hebat seperti Nono, Beni dan Ninda (Great Thanks to Them). Dibantu Jalu yang sedang di Jakarta dan jaringan Dwi ke tokoh-tokoh, dalam beberapa menit plan dapat ditentukan. Setelah UNJ (satu-satunya tempat yang telah fix sejak awal) yang menjadi persinggahan pertama kami, maka rumah pak Adi Sasono menjadi sasaran kami selanjutnya. Nampak sangat kurang menjanjikan dengan hanya adanya dua tempat tadi, waktu lebih banyak habis dijalan, dan tujuan refresing serasa terkesampingkan.

Jelas-jelas acara jadi gak jelas saat tiba di UNJ, selain karena arah diskusi yang gak jelas karena tidak lagi bertujuan untuk pembekalan regenerasi. Juga karena saat itu tenyata BEM UNJ yang baru sebulan menjabat sedang berpencar dengan agenda masing-masing. Maka, yang tersisa hanyalah sekjen dan beberapa staff. Ada “suplemen tambahan”, suhu di Rawamangun yang terkenal panas (kata kamil), membuat tak satupun dari kami tahan. Agenda diskusi berjalan sebentar, kemudian kami lebih senang foto-foto sambil berusaha melupakan rasa penat dan gerah yang luar biasa.

My UnAdulty again….??

Bener kata teori, bahwa merubah karakter adalah suatu proses yang sulit. Bukan pekerjaan satu-dua hari atau satu-dua minggu. Memang butuh lebih dari sekedar kemauan kuat untuk melakukannya…

Selama keberjalanan di UNJ terjadi diskusi di panitia yang berujung pada kebimbangan pemilihan tempat. Opsi berkembang menjadi tiga, tetap ke pak Adi Sasono, dengan resiko tidak ada waktu keakraban, ke ancol atau ke taman mini. Hasil voting membawa kami ke Ancol, suatu hal yang membuat aku mempersalahkan Nono. Hal yang agak annoying ku pikir, kami serombongan bisa seenaknya membatalkan janji dengan tokoh seperti pak Adi Sasono. Kemudian muncul protes dari akhwat, yang menuntut tetap adanya jalan-jalan ke tokoh. Aku pun agak sedikit kurang sreg dengan keputusan ini.

Ketidak dewasaan ku muncul di sini. Dengan begitu mudahnya aku mempersalahkan Nono yang memang memegang tanggung jawab tersebut, tanpa mengkonfirmasi alasannya. Padahal, diakhir baru ku sadari bahwa, menentukan akan kemana bis yang kami tumpangi singgah adalah sebuah keputusan BESAR… It’s a BIG deal!! Wajar kalau kemudian dengan berbagai pertimbangan dari sudut pandang panitia (terutama panitia acara) kemudian muncul suatu keputusan…..

Bagaimanapun, ini refleksi untuk diriku sendiri. Irresponsible and blabbermouth that makes things worst. For that, I feel like an old fart-smelled crap…..

Akhirnya dengan lobi “ajaib” Dwi tiba-tiba Pak Iman Taufik bersedia untuk menerima kunjungan dari kami.

23 April 2007

Orang tua saja saya gak punya, apa lagi sepeda……

Saat mendengar namanya, aku awalnya tidak terlalu antusias…. gak kenal!! Tapi kemudian Dwi cerita, beliau adalah aggota MWA, enterpreneur. I’m still unappreciate it verywell. I predict, he is an Dosen-like guy with nothing special. Like Emil Salim, H.S. Dillon or the others I met before.

Akhirnya setelah tanya sana-sini, kami sampai ke daerah Ciputat. Dugaanku makin kuat, rumahnya mungkin ada di gang kecil yang terselip didaerah yang terkenal macet, Ciputat. Kami sampai di Rempoa, jalanan mulai sempit disini. Pak supir mulai menggerutu, ia khawatir kami masuk ke tempat yang salah plus tidak bisa berputar karena besarnya bus yang membawa kami ini. Aku coba meyakinkan si bapak (hehe…. biasanya tugas guide itu dipegang kamil, tapi karena Kamil pamit pulang dan kebetulan Ciputat adalah “daerah kekuasaan”ku maka aku yang dijadikan referensi) bahwa kami ada dijalan yang benar. Setelah masuk beberapa lama, kami memutuskan bertanya.

Pertama, kami bertanya ke bengkel. Jawabnya, “oh nanti masuk gang ke kiri dik….”. Wah, memang benar dugaan ku, “ia pasti orang yang cukup sederhana” pikirku. Kesempatan kedua, kami bertanya pada satpam sebuah perumahan elit. Si satpam menjawab, “Lurus aja dek, ntar ada gang kekiri.”, pak supir yang mulai jengkel menyuruhku bertanya kembali utnuk memastikan, “pak, Bus bisa masuk?”. Dengan mantap pak satpam menjawab, “Oh, bisa banget mas. Pak Iman punya bus kok….”. Aku kaget karena dua hal, pertama ia dikenal orang sekitar, kedua dia punya bus, “juragan pool bus kah?” pikirku. Akhirnya setelah dimaki-maki orang plus gerutuan supir bus kami akhirnya kami masuk ke gang yang pas-pasan itu.

Kami mencari rumah No. 155, yang ternyata tidak terlalu jauh. Jika diperhatikan sepintas biasa saja, tetapi halamannya emang luas. Eh…. apaan tuh yang menyembul disela-sela halamannya? Sebuah bus, warna merah menyala, beberapa mobil, dan…… 1, 2, 3, 4….. ya empat lantai rumahnya. Bus kami pun kemudian di parkir di halaman rumahnya.

Nothing more amazing than the fact that all the things he reach is starts from a poorest life in his youth. Pak Iman Taufik memulai kuliahnya dengan kenyataan bahwa Ia seorang yatim-piatu. Ia dapat lulus dari MS ITB setelah melewati masa kuliah dengan kerja serabutan plus tetap nongkrong di DEMA. Montir, preman bayaran (satpam ilegal) dan berbagai macam pekerjaan pernah ia lewati. Satu kalimat yang sangat menyentuh adalah saat beliau mengatakan “Orangtua saja saya gak punya, apalagi sepeda…..” saat menggambarkan bagaimana kehidupannya dikampus.

Ternyata keterkejutan saya tidak berhenti sampai disitu. Satu prinsip yang bisa diambil dari beliau adalah tidak cepat puas. Ya…. nasibnya mungkin tidak akan seperti saat ini jika saja, di beberapa tahun awal pasca kelulusannya ia tidak meninggalkan pekerjaannya di singapura yang nilai gajinya sudah sekitar Rp 100 juta sebulan. Sekali lagi ia memulai semuanya dari NOL, dan dari sanalah Tripatra dan satu perusahaan lainnya berkembang hingga sebesar sekarang. Terlepas dari kemungkinan adanya distorsi antara realita dan tuturan beliau, saya tetap salut dengan apa yang beliau tuturkan.

Sebagai anggota MWA

Beliau sebagai anggota MWA, saat ini tugas besarnya adalah perapihan ITB. Karena tingkat “korupsi” di Kampus kita katanya cukup besar. Korupsi waktu kuliah, “korupsi” jabatan dengan adanya dosen yang makan-gaji-buta, Korupsi nama (proyekan yang dilakukan dosen ITB dengan menggunakan fasilitas ITB tetapi tidak ada imbal-balik profit ke ITB), dan mungkin saja korupsi dalam artian sebenarnya pun terjadi di ITB.

Butuh dukungan dari berbagai pihak agar gerakan perapihan ini bisa berjalan sebagaimana mestinya. Mahasiswa dengan satu perwakilan dapat turut andil didalamnya. Selain itu sebagai pihak yang dapat dikatakan independen dari segi kepentingan finansial ITB, mahasiswa juga dapat berfungsi sebagai corruption watch.

Ending…..

Aku tadinya berencana pulang ke rumah dan balik ke bandung besok bersama kamil, karena sudah sampai ke daerah Ciputat. Tetapi akhirnya aku memutuskan pulang ke bandung bersama rombongan karena rasanya tanggung hanya beberapa jam di rumah.

Malam itu sebenarnya ada alokasi dana di panitia untuk makan malam, tetapi ternyata pak Iman menjamu kami. Lucunya dengan stok lauk pauk yang berlebihan untuk 50 orang peserta, beliau mengatakan “salah baca SMS” dan mengatakan hanya mempersiapkan makanan untuk 20 orang. Wow, gak kebayang kalo porsi 50 orang benar-benar beliau siapkan.

Akhirnya di saat akan pulang saya coba iseng bertanya ke beberapa peserta, sebandingkah acara seharian ini dengan 25 ribu yang mereka bayar, dan jawabannya adalah sangat berlebih serta tidak sebanding. Mereka puas dengan perjalanan hari ini. Thanks to Nono, Beni, dan Ninda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *