Tag Archives: liqo

Mencari Mutiara yang Hilang

Mencari Mutiara yang Hilang

Minggu, Juni 8th, 2008

Halaqah… kata itu mulai kukenal saat aku masih menjadi santri semasa MTs dulu. Saat itu aku sebenarnya tidak begitu memahami arti pertemuan-pertemuan rutin itu. Yang aku tahu adalah, setiap pekan aku dan seluruh santri yang lain wajib ikut dalam program tersebut sesuai yang sudah ditetapkan oleh pesantren. Pertemuan-pertemuan pekanan itu nyaris tidak berkesan bagiku, bahkan cenderung menjadi mimpi buruk yang selalu datang tiap pekan. Menjadi mimpi buruk bagiku karena pertemuan ini selalu diawali dengan sesi tahsin dan tilawah bergiliran.

Masalah utama yang menghantuiku adalah kenyataan bahwa sampai tahun terakhirku di pondok aku masih belum bisa membaca Al Quran dengan lancar. Meski sejak SD aku telah berkenalan dengan Iqra, dilanjutkan kelas tahsin di kelas satu dulu, hal itu tidak mampu membuat aku lancar membaca Al Quran. Aku tetap saja membaca dengan terbata-bata, meskipun untuk makharijul huruf cukup fasih. Hal ini masih terus terjadi hingga aku menginjak tingkat tiga di kampus ITB ini.

Bersyukurlah, untuk program tahfidz wajib aku terbantu dengan keberadaan Hidayat, Yayat, Zulfahmi dan beberapa rekan lainnya. Terutama Hidayat, ia membantuku untuk menghafal dengan membacakan berulang-ulang halaman per halaman Al Quran setiap harinya. Dalam sehari setidaknya 10 kali ia mengulang bacaannya tepat disamping telingaku yang secara bersamaan mengeja baris-baris huruf arab tersebut. Setelah sekian kali dibacakan, ayat-ayat itu lebih tercerna oleh mataku dan samar-samar mulai teringat dalam pikiran. Saat itulah aku mulai menghafalkan ayat-ayat tersebut. Mekanisme ini tidak saja membantuku tetapi menjadi bersifat mutual karena Hidayat pun menjadi terbantu untuk memurajaah hafalannya yang begitu pesat bertambah.

Kembali lagi kemasalah halaqah tarbawi, baru kusyukuri kini, kami para santri mendapatkan murabbi dari kalangan ustadz-ustadz terutama yang berlatar belakang syari’ah. Aku sendiri mendapatkan murabbi seorang lulusan muda LIPIA. Namanya Ust. Jajang Aisyul Muzakki Lc., salah satu lulusan termuda LIPIA diangkatannya. Beliau cukup ramah untuk ukuran ustadz Husnul Khotimah, meskipun ada kalanya bersikap tegas. Beliau bergabung dengan ma’had hampir bersamaan dengan masuknya aku ke pondok ini. Hanya berselisih beberapa bulan saja. Bahkan kuingat dulu saat beliau akan menikah tim nasyidku tampil di walimahnya. Sayangnya aku tidak terpilih untuk masuk dalam tim yang tampil.

Halaqah tarbiyah di ma’hadku ini bisa dibilang merupakan program baru. Di tahun pertama dan keduaku di pondok, program ini belum berjalan. Baru mulai kelas 3 program ini berjalan, itupun dengan kondisi pertemuan yang jarang-jarang dan banyak terjeda oleh agenda-agenda akademik yang ada. Seingatku, saat itu masalah controlling/mutaba’ah pun menjadi kendala lain yang belum terpecahkan. Sistem kaderisasi yang baru berjalan itu masih dalam tahap mencari-cari bentuk yang pas.

Berkaitan masalah controlling tersebut, ada sebuah kisah yang menggelitik. Well, seperti pernah kuceritakan, aku bukan santri baik-baik dan taat aturan. Aku kerap kali kabur dari pondok untuk urusan yang remeh temeh, meskipun masih dalam batas yang cukup bisa ditoleransi. Aku kabur biasanya karena ada keperluan yang ‘harus’ kupenuhi namun waktu perizinan tidak memungkinkan untuk aku keluar secara legal. Kali ini adalah satu-satunya pengalamanku ‘kabur’ dari pondok secara berjama’ah.

Bagian keamanan selama aku dipondok dijabat oleh anak-anak Aliyah dengan bimbingan seorang ustadz. Mereka memiliki tugas mengurus perizinan, mengontrol waktu berangkat ke masjid, mengawasi dan mengeksekusi pelanggaran penggunaan bahasa. Disatu sisi program ini baik dalam usaha menegakkan disiplin dikalangan santri, tetapi disisi lain ada sesuatu yang menyimpang dari tujuan keberadaan ‘qismul amni’ ini. Mereka yang masuk dalam barisan ‘algojo’ ini adalah mereka yang tidak tersentuh aturan. Justru akhirnya mereka menjadi pihak yang sewenang-wenang dalam menegakkan aturan, namun mereka sendiri tidak menjalankannya.

Saat itu beberapa hari sebelum tahun baru islam. Aku bersama dengan beberapa teman satu halaqahku berniat untuk main ke rumah salah satu rekan yang tinggal di Cirebon. Rekanku ini namanya Asep Paroji, anak seorang pengusaha Rotan di daerah Plumbon. Seingatku kami yang berencana berangkat ada Aku, Imam, Asep Mulyawan, Asep Paroji, Udin, dan Zulfahmi. Kami berencana untuk izin melalui prosedur biasa karena mengira untuk hari libur tahun baru kali ini perizinan liburan dibuka oleh bagian keamanan.

Perkiraan kami meleset. Perizinan untuk pulang kampung tidak dibuka dan secara default santri tidak diizinkan keluar pondok. Saat itulah kami mendengar adanya selentingan isu bahwa ada serombongan santri yang mendapat izin untuk ikut acara mabit di Cirebon bersama ustadz yang menjadi murabbi mereka. Aku lupa siapa persisnya yang menggagas ide gila ini, tapi akhirnya kami memutuskan untuk mengatasnamakan jalan-jalan nggak penting ini sebagai agenda ‘mabit’ halaqah kami, dengan alasan kami memang melakukan mabit… (menginap, red) di rumah Asep Paroji hehehe. Sekarang tinggal acc dari Ust. Jajang yang akan memuluskan terlaksananya ‘agenda mabit’ kami ini.

Ah… sayang sekali! Murabbi baik hati yang kami cari ternyata tidak ada di pondok maupun di rumahnya. Semangat kami mulai down… terancam batal rencana ‘mabit’ ini. Tapi ada salah seorang dari kami (aku lupa siapa, mungkin Imam) yang mengajak kami untuk nekat mencoba mengajukan izin tanpa tanda-tangan ust. Jajang. Hmmm… rencana menarik yang langsung direspons dengan sepakat oleh yang lain. Kami segera menyusun strategi agar rencana ini bisa mulus tanpa terdeteksi oleh qismul amni. Cara yang kami tempuh adalah dengan meminta tandatangan dan cap dari anggota qismul amni yang paling santai, tidak galak dan kurang teliti. Singkat cerita, orang yang kami maksud tersebut akhirnya bisa juga di mintai tandatangan dan cap ‘keramat’nya, dan… kamipun bebas ‘kabur’ dengan kekuatan izin yang kami dapat. Akhirnya kami berangkat! (Bersambung)