Maaf hanya copas…

— Pada Sen, 6/7/09, **** ******* <********@yahoo.com> menulis:

Dari: **** ******* <********@yahoo.com>

Topik: fwd: [ldk_ishlah_yai] Walimah Terakhir

Kepada:

Tanggal: ****

Dari: greta aryuan <gretaaryuan@yahoo.co.id>

Topik: [ldk_ishlah_yai] Walimah Terakhir

Kepada:

Tanggal: Senin, 6 Juli, 2009, 8:46 PM

Walaupun sedikit panjang dan copas tapi insyaAllah sangat menyentuh dan sarat hikmah.Bolehkan berbagi? Afwan kalo ada yang keberatan

Walimah Terakhir

oleh *Ust. Aidil

Walimatul ‘ursy atau resepsi pernikahan sekarang ini identik dengan sepasang pengantin yang dihias ’sensual’ dengan make up tebal yang kontras, berdiri bak raja dan ratu didampingi sepasang orangtua yang selalu menebar senyum. Latar belakang tampak dekorasi indah dengan hiasan bunga-bunga, makanan yang berlimpah-ruah disertai gubug aneka menu yang mengundang selera, pager ayu dan pager bagus yang muda dan cerah ceria. Foto-foto pengantin yang dicetak besar dan memenuhi sisi-sisi gedung walimah, tamu undangan yang berdandan istimewa, kilatan cahaya kamera di sana-sini, senandung musik yg memekakkan telinga dan souvenir mungil yang bisa jadi pengenang. Inilah pemandangan eksotis RAJA dan RATU sehari itu.

***

Suatu saat aku* dan istri menghadiri pernikahan seseorang di pinggiran Jakarta. Ada nuansa yang menguak kembali ingatanku akan model pernikahan di penghujung tahun 80-an. Subhanallah, jarang aku menjumpai pernikahan yang seperti ini lagi. Begitu khidmat dan sederhana. Tak ada pelaminan, hanya ada hamparan karpet di sebuah Mesjid sederhana dengan sedikit hiasan bunga-bunga plastik dan beberapa hiasan kaligrafi.

Jangan berpikir tentang pakaian pengantin yang mewah dan berganti-ganti, sebab sang pengantin hanya mengenakan sebuah gamis putih yang juga sederhana. Meja prasmanan atau gubuk-gubuk makanan? Tak akan ditemukan di sana. Sebab semua makan dengan sebuah hantaran yang sama dan duduk lesehan di karpet yang sama.

Tak ada yang makan sambil berdiri. Mereka merasa setara karena tak ada yang dandan ngejreng dengan kemilau perhiasan emas yang menyolok mata. Tak ada yang mubadzir, tak ada yang merasa tak dihormati, baik oleh tuan rumah atau oleh sesama tamu yang datang.

Sungguh, tak ada kemewahan di sana. Tetapi, sedikit pun tak mengurangi kebahagiaan dan senyuman yang tulus. Saat kalamullah dialunkan, terasa hening dan sesekali terdengar suara isak tangis yang tertahan. Khutbah nikahpun dibawakan bukan oleh ustadz kondang, lebih mirip seperti kultum karena dibawakan oleh orang yang dituakan di antara mereka. Sangat menyentuh, tentang ketakwaan, tentang membangun rumah di surga.

Dan saat ijab qabul terucap… air mata tak bisa dibendung. Oh tidak, bukan aku saja. Semua meneteskan air mata… haru… ah… sungguh walimah yang penuh berkah.

Pernikahan adalah ibadah. Sesungguhnya Rasulullah saw pun pernah berpesan agar pernikahan itu tak hanya mengundang tamu orang kaya dan melupakan yang miskin. Sehingga, sesungguhnya pernikahan bukanlah ajang menampakkan gengsi dan pamer kesuksesan seseorang karena kemilaunya acara pernikahan yang ia selenggarakan. Bahkan ada yang menunda pernikahan lantaran belum terkumpul dana untuk menyelenggarakan pernikahan yang istimewa.

Bukankah menunda pernikahan tanpa waktu yang tegas justru akan memungkinkan datangnya fitnah?

Pernikahan juga bukan ladang bisnis bagi penyelenggaranya. Dihitung modalnya sekian dan balik modal dari sumbangan yang datang dari para undangan mestinya sekian. Terkadang sempat terpikir di benak orangtua saat menikahkan anaknya adalah saat ia mengumpulkan lagi sumbangan yang pernah ia berikan ke orangtua yang terdahulu menikahkan anaknya. Bukankah kita diajarkan untuk senantiasa berlaku, bertindak dan berkata dengan ikhlas?

Maka, menjadikan pernikahan sederhana sebagai satu ibadah yang tidak memberatkan mestinya adalah keniscayaan. Wajar bila orang tua ingin memuliakan para tamu, wajar pula orang tua ingin menampakkan keindahan dalam setiap jejak kehidupan anaknya. Tetapi itu tak mesti membuat kita memicingkan mata ketika kita menghadiri pernikahan yang sederhana… .

Beberapa tahun kemudian, kejadian itu telah terekam dalam memoriku*. Tak ada lagi pernikahan sederhana setelah itu. Setidaknya yang aku* saksikan hingga saat ini. Semua seolah berlomba untuk sebuah acara seumur hidup yang tak terlupakan. Hingga dahi pun berkerut-kerut menghitung anggaran biaya walimah yang menguras seluruh tabungan. Tetapi tahukah, justeru pernikahan sederhana di ataslah yang tak pernah terhapus dalam memoriku*… akankah jadi ‘walimah terakhir?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *