Jika saat itu datang…….
Tiba-tiba saja aku “menangis”, entah apakah sampai secara dzohir air mata
menitik….. yang pasti dalam kontemplasiku aku menangis….. Now is not my
brutallest time of me, tapi gw jadi inget semua masa lalu gue…. yang pernah begitu
parah.
Kata orang, kita gak boleh membuka aib kita didepan orang lain….. aku
sepakat dengan pendapat itu. Bahwa aib yang tertutup merupakan bagian dari
kemurah-hatian Allah terhadap kita. Sesungguhnya sangat mudah bagi Allah untuk
membiarkan aib-aib kita terbongkar didepan orang banyak.
Tapi disisi lain aku punya pandangan lain, bahwa bagaimanapun kadang kita
harus menunjukkan diri kita apa adanya. Selanjutnya, biarkan orang-orang dengan
persepsinya masing-masing menginterpretasikannya. Bagaimanapun, masa lalu
adalah hal yang tak akan pernah bisa dirubah…. seberapa besarpun penyesalan
kita. Masa lalu akan tetap menjadi bagian dari goresan tinta sejarah di catatan
kehidupan kita yang seberapa keraspun kita menolaknya, seberapa dalam kita
menguburnya, seberapa menyakitkan makian orang terhadapnya… sejarah tetaplah
sejarah.
Lalu apa kemudian kita takut jika suatu hari nanti, saat suatu momen baru
kehidupan kita (pernikahan) tiba, semua masa lalu kita harus terbongkar keluar.
Apakah kita akan sekuat tenaga menutupinya? Atau dengan legowo membuka diri
kita apa adanya? Padahal inilah adalah salah satu dari ujian terbesar
keikhlasan kita dalam menjalani kehidupan. Segala hal yang menjadi bagian dari
masa lalu “calon” merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari dirinya,
begitu pula sebaliknya dengan masalalu kita.
Tiba-tiba aku merasa inilah saatnya untuk kembali menata rencana jauh ke
depan, setelah sekian lama meletakkannya dalam box perenungan yang panjang. Ini
saatnya kembali untuk berbicara tentang hidup, dalam fase yang akan lebih luas.
Suatu fase penuh tanggung jawab yang lebih serius dan besar, saat-saat yang
tidak lagi hanya sekedar menentukan bagaimana kita menghabiskan hari tua tetapi
juga bagai mana nasib kita di akhirat kelak….. It’s time to talk about this
“too much serious” thing. Mempertanyakan kesiapan pribadi dan menimbang-nimbang
berbagai sisi dari rencana ini.
Flashback….
Jadi kembali ingat saat-saat dulu mulai berbicara tentang hal “serius” itu
disaat aku belum lagi lulus dari TPB. Masa-masa bau kencur untuk memutuskan
siap untuk melangkah ke sana. Banyak alasan yang muncul, namun seakan terlalu
mengada-ngada. Disisi lain banyak hal yang tidak terpikirkan sebagai
konsekuensi dari “pilihan” tersebut. Tetapi masa 3 tahun ini merupakan masa
yang cukup lama tuk merenung. Ya… merenungkan berapa tahun lagikah aku
nyatakan diriku siap untuk melangkah ke jalan tersebut.
Aku ingat, seperti juga kata orang dalam buku-buku tentang ta’aruf dan
khitbah bahwa proses menuju suatu pernikahan yang ideal membutuhkan waktu yang
lama. Ia tidak semudah membalikkan telapak tangan, kita akan berhadapan dengan
banyak pihak dan faktor. Kata orang, pada hakikatnya saat kita meNikah, yang
kita “nikahi” bukanlah seorang individu calon kita, tetapi kita “menikahi”
seluruh keluarganya, masa lalunya, dan seluruh latarbelakang diri si calon. Yang
paling dekat adalah orang tua kita, juga orang tua “calon” kita. Mengkondisikan
kultur, tatakrama, dan adat dengan tuntunan syariah membutuhkan effort yang
besar dan waktu yang lama.
Tidak hanya itu, dalam banyak kasus ada diantara kita yang tidak cukup
dekat dengan orang tua sehingga tidak memberikan early warning. Ujug-ujug 3
minggu sebelum akad baru “nodong” minta ditemani melamar, yang membuat orang
tua terkaget-kaget. Bersyukur jika hanya terkaget-kaget, bagaimana bila yang
muncul adalah tuduhan yang bermacam-macam seperti hubungan yang bablas, aliran
sesat atau apapun prasangka yang muncul karena budaya “asing” yang kita bawa.
Mentorku yang dulu pernah mengatakan, mungkin beberapa semester sebelumnya PDKT
ke orang tua sudah harus mulai dilakukan.
Faktor kedua yang tak kalah penting adalah keluarga. Namun sebenarnya hal
ini tidak terlalu menimbulkan masalah jika kita sejak awal telah cukup dekat
dengan saudara dan kerabat.
Diantara itu semua, yang paling fundamental adalah diri kita sendiri.
Tetapi aku sendiri masih bingung dengan hal ini. Faktor ini sangat terkait
dengan Visi dan Misi pernikahan kita. Motif dan urgensitas pernikahan pada
suatu waktu juga berbeda-beda. Ada yang siap menikah, sehingga menikah pada
saat itu hakikatnya sunah. Tetapi ada yang menikah untuk menghindari munculnya
mudharat yang lebih besar. Adapula yang menikah sekedar menggugurkan kewajiban.
Dalam masalah ini, aku berdiskusi dengan pikiranku sendiri tentang “wanita
shalihah untuk pria shalih, wanita baik untuk pria baik”. Bagaimana jika suatu
ketika kasusnya adalah seperti ini, seorang pria yang masa lalunya hitam, sama
sekali tidak memenuhi muwashofat standar sebagai “calon suami yang baik”, tapi
Ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk berubah adalah dengan mencari
pendamping hidup yang lebih istiqamah? Tentu merupakan pilihan sulit untuk
wanita manapun menghadapi pria seperti itu. Butuh kelapangan hati yang luar
biasa untuk dapat menerima kenyataan bahwa yang akan menjadi pendamping hidup
kita adalah seorang yang jauh dari figur ideal yang kita idam-idamkan.
Tetapi bagaimana jika itu terjadi? Bagaimana jika misalnya, seorang mantan
residivis yang ingin meninggalkan masa lalunya dengan memulai kehidupan baru.
Apakah ia layak untuk mendapatkan seorang akhwat baik-baik? Atau pintu
perbaikan sudah tertutup baginya, karena kemanapun ia melamar jawabannya adalah
“perbaiki dirimu sendiri dulu, dan cari lah yang sebanding”? Aku coba
membiarkan pikiran ku mengalir dalam tulisan ini agar aku mendapatkan konklusi
yang rasional, karena aku bimbang dengan korelasi antara menikah untuk
“menghindari mudharat” dengan “akhwat yang baik untuk ikhwan yang baik”.
Ya….. whatever!! Anyway, ternyata memang butuh suatu pemikiran panjang
untuk melangkah ke “sana”. Entah sebulan, dua bulan, setahun, dua tahun atau
lima tahun lagi gak ada dari kita yang dapat memprediksi kapan “si calon”
datang. Yang pasti, apapun dapat terjadi dalam masa penantian itu, entah ternyata
kita sudah dijemput ajal, atau jangan-jangan sudah keburu “pindah haluan ke
jalan yang lain”, atau malah banting stir dari “siapa kamu?” jadi “Siapa aja
deh!!”. Bagaimanapun gak ada diantara kita yang mau hal-hal itu terjadi.
Solusinya, kalo dari pribadi “waa tazaawaduu…..”, “waa a’iddu lahum….”,
dari faktor luar…. santai aja, perbandingan akhwat-ikhwan itu timpang (as
Allah told, “matsna waa tsulatsa waa ruba’…”).
Sebagai penutup, disebuah training berkaitan dengan pernikahan ketimpangan
ini terasa sekali… dengan sedikit mengeneralisir, pada waktu yang sama,
kira-kira perbandingan Ikh-Akh yang “menunggu waktu yang tepat” adalah
1:7….!! Mmmm… mungkin kegedean, tapi yang saya temui di training itu adalah
pesertanya 20 orang ikhwan vs 140 orang akhwat!! Hal ini bisa jadi karena usia
siap/matang dari Akhwat lebih cepat daripada Ikhwan sedangkan ikhwan yang siap
selalu terbatas. Semua kesempurnaan hanya milik Allah…..
Wassalam