Pendidikan tolol ala indonesia vs Tayangan tolol versi AFI

Subject: Diterima di ITB Malah Kebingungan (AFI VS IPA) – Tolong> Disebarkan> Agar Tayangan TV Tidak Makin Merusak

>> Diterima di ITB Malah Kebingungan>>

PEMENANG konser Akademi Fantasi Indosiar (AFI) boleh tersenyum lega,

sebab setelah konser usai, mereka segera mendapat tawaran rekaman atau

nyanyi dan dapat uang dari berbagai sumber. Tidak demikian halnya dengan

pemenang Olimpiade Biologi Internasional. Usai mendapat ‘penghargaan’

dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen), Departemen Pendidikan

Nasional (Depdiknas) sebesar Rp5 juta per orang, mereka tambah miris

dengan masa depan mereka sendiri. Sebab, bukan tawaran main sinetron, hiburan ataupun

tawaran model iklan dari berbagai produk yang berarti bakal dapat duit.

Sang juara Olimpiade itu harus berpikir keras bagaimana mencari duit untuk kelangsungan sekolah mereka. Seperti yang dialami Mulyono,pemenang medali perunggu Olimpiade biologi dari SMAN di daerah Pare, Kediri, Jawa Timur (Jatim). Mulyono mengaku dirinya telah diterima masuk di Institut Teknologi Bandung(ITB) jurusan mikrobiologi melalui ujian saringan masuk> yang diterapkan oleh ITB sebelum SPMB berjalan. Untuk meringankan siswa> yang> orang tuanya petani itu, Mulyono mendapat dispensasi tidak harusmembayar> uang masuk yang besarnya sekitar Rp45 juta, tetapi untuk biaya kuliah serta biaya> hidup selama di Bandung masih tetap menjadi pikirannya. “Ya, itulah yang mengganggu pikiran saya, dari mana saya harus mendapatkan uang,” katanya lirih. Peraih medali perak dalam lomba sains nasional yang diselenggarakan di Balikpapan belum lama ini, sedang berusaha mencari sponsor agar dirinya bisa memperoleh dana bagi kelangsungan sekolahnya kelak. Mulyono sempat bingung menghadapi uang kuliah yang besarnya Rp1,7 juta per semester, belum lagi biaya hidup di Bandung yang berdasarkan pemantauannya lebih dari Rp400.000 sebulan. “Tanpa adanya beasiswa atau sponsor, mustahil saya bisa kuliah di sana,” kata> Mulyono.>> Kondisi serupa juga dialami Ni Komang Darmiani yang bersama-sama> dengan Mulyono pergi ke Brisbane, Australia untuk membawa nama bangsa> dalam> Olimpiade Biologi tersebut, masih bingung terhadap masa depannya. Darmi> mengaku telah diterima di Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana> melalui> jalur Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK). Namun, sebelum berangkat ke> Brisbane untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa> terbelakang dengan cara ikut olimpiade sains, Darmi sempat bingungkarena> ia> diwajibkan membayar uang pangkal dari Universitas Udayana sebesar Rp11> juta.> Ketika pulang dari Australia dan Dirjen Dikdasmen memberikan uang> ‘penghargaan’ sebesar Rp5 juta dirinya sempat bergumam, “Wah, masih> kurang Rp6 juta lagi.” Terbayang di hadapannya, orang tuanya yang guru> SMA,> harus berusaha keras menyediakan kekurangan biaya tersebut, belum lagi> biaya> semester yang harus dibayarnya serta biaya hidup di Denpasar kelak bila> ia> belajar di Universitas Udayana. Letak Denpasar sangat jauh dari kediaman> orang tuanya di Desa Bila, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, Singaraja.> Artinya, selama menuntut ilmu mau tidak mau ia harus indekos karena> tidak ada famili di sana.>> Anugerah AFI yang hanya diselenggarakan di Indonesia begitu besar,> tetapi mengapa anugerah Peraih Medali Perunggu olimpiade sains Cuma> sebesar> itu. Kapan masyarakat bumi tercinta ini mulai menghargai anak bangsanya> yang> telah membawa harum di dunia internasional. Jadi, kapan bangsa ini mulai> menghargai orang cerdas dan pintar?>> Sumber Media Indonesia Online (22 Juli 2004).> ======================================================================>> AFI Versus IPA> Oleh : Ade Armando (Dosen UI dan Pengamat Media)>> Pernah dengar nama Yudistira Virgus? Atau, Edbert Jarvis Sie?> Atau, Ardiansyah? Andika Putra? Atau, Ali Sucipto?> Kalau Anda menganggap nama-nama itu terasa asing di telinga,> jangan berkecil hati. Maklumlah, mereka memang tidak cukup dieksposmedia> massa.> Jangankan tampang, nama mereka saja tidak hadir di halaman> satu surat kabar, di halaman depan tabloid dan majalah, apalagi di prime> time siaran televisi dan radio kita.>> Dibandingkan Veri, Kia, dan Mawar (tiga finalis AFI),misalnya,> pemberitaan soal Yudistira dan kawan-kawan bisa dibilang ‘cuma> seujung kuku’.>> Padahal, prestasi mereka sangat membanggakan.Mereka berlima semua siswa> SMA> membawa Indonesia menempati peringkat lima besar dalam Olimpiade Fisika> Internasional di Pohang, Korea Selatan,yang baru berakhir Kamis lalu.> Dalam ajang prestisius yang diikuti 73 negara ini, Indonesia> hanya berada di bawah Belarusia, Cina, Iran, dan Kanada.> Negara-negara besar seperti AS, Jepang, atau Jerman dilibas.> Yudistira merebut medali emas untuk kategori total ujian teori> dan praktik (eksperimen), sementara keempat teman lainnya merebut medali> perak dan perunggu.>> Tapi, begitulah Indonesia.Pencapaian dalam kemampuan menguasai atau> mengembangkan ilmu pengetahuan tidak memperoleh perhatian besar.> Remaja Indonesia, sejak kecil, diajarkan untuk justru mengagumi hal-hal> tidak mendasar.> Lihat saja bagaimana saat ini ribuan remaja Indonesia berduyun-duyun> mengikuti berbagai ajang kompetisi adu tarik suara atau bahkan adu> kecantikan.> Impian ‘menjadi bintang’ terus dipompakan ke benak bangsa ini.>> Program seperti AFI dan semacamnya tidaklah buruk.> Tapi, skalanya sudah menjadi begitu besar dan sama sekali> tidak proporsional sehingga bisa menyesatkan rentang pilihan yang> terbayang di benak bangsa ini.>> Indonesia adalah negara miskin dan terbelakang.Salah satu syarat utama> untuk> mengatasi ketertinggalan ini adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan> teknologi.> Karena itu, negara ini membutuhkan penghibur (entertainer)dalam jumlah> ‘secukupnya’ saja.> Kita tentu perlu mensyukuri lahir dan tumbuhnya sebuah generasi> muda yang cantik, gagah, pintar menari dan bernyanyi, atau berakting;> namun> kita memerlukan lebih banyak lagi orang pintar.> Kepintaran rupanya memang tak dianggap punya daya tarik> tinggi. Akibatnya, media massa tidak memberi tempat cukup bagi> prestasi yang terkait dengan ‘keunggulan otak’.>> Tanpa disengaja, media tidak mengondisikan masyarakat untuk menghargai> ‘kepintaran’.> Bahkan, di siaran televisi, lazim kita melihat bagaimana kaum> ilmuwan ditampilkan secara karikatural: sebagai profesor pikun beruban> dan> berkacamata tebal yang tidak punya kehidupan sosial. Pasokan sumber daya> manusia unggul di negara ini dipinggirkan.>> Tentu saja bukan cuma media massa yang berkonstribusi.> Kita misalnya juga tidak melihat upaya serius pemerintah untuk> memelihara dan mengembangkan kualitas brainware ini.>> Yudistira dan kawan-kawan pun bisa saja akhirnya tidak akan> dapat dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa ini karena mereka keburu digaet> pihak asing.>> Yudistira misalnya dikabarkan sudah memperoleh beasiswa dari> sebuah universitas teknologi di AS.Dikabarkan pula dua anggota tim> Olimpiade> Fisika sudah diterima Nanyang University of Singapura (NUS).>> Maklumlah, perguruan tinggi asing ini aktif mendekati para> calon ilmuwan terbaik yang mereka dapati di ajang internasional, sembari> mengiming-imingi beasiswa, jaminan hidup, dan bahkan jaminan kerja.> Sementara Indonesia, hanya mengamati mereka dari jauh.>> Tidak pernah dengar nama Yudistira Virgus?Tidak apa-apa, kok. Ia cuma> pemenang medali emas di Olimpiade Internasional!>>

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *