Tag Archives: Masjid

Taujih Ust. Tate Ahad Kemarin

Sebenernya ada sedikit penyesalan saat saya terlambat tiba di Habib siang itu. Aku tiba pukul setengah dua siang, sedangkan agenda yang dijadwalkan oleh panitia adalah pukul duabelas. Meski begitu aku masih bersyukur bahwa aku datang saat itu tanpa keterpaksaan apapun, bahkan sedang bersemangat mengejar isian ruhiyah baru dari taujih kali ini. Sebenarnya aku sedikit ragu, karena rekan-rekan sehalaqah tidak ada yang memutuskan datang sehingga aku datang sendirian.

Habib hari itu sangat-sangat ramai. Motor-motor memenuhi lapangan parkir. Rombongan akhwat jilbab lebarpun terlihat berduyun-duyun memasuki masjid. Ada diantara mereka yang baru saja turun dari angkot tepat didepan gerbang, sebagian yang lain terlihat berjalan bergerombol dari depan gerbang citepus. Mungkin mereka baru saja menyelesaikan agenda halaqahnya. Sudah umum diantara ikhwah bahwa hari sabtu dan ahad sebagai hari ‘Liqo Akhwat Nasional’ karena memang mereka banyak meletakkan agenda pekanannya saat weekend.

Kedatanganku tepat saat seorang ustadz sedang memulai taujihnya. Selesai berwudhu aku segera memasuki masjid. Di pintu masjid seorang ikhwan menepuk betisku pelan. Ah… wajah yang cukup kukenal. Ternyata pak Dudi Lutpi, mas’ul kepemudaan di DPD. Subhanallah, satu hal yang kukagumi dari beliau adalah beliau masih mengingatku persis. Padahal kami sudah 1,5 tahun tidak bertemu setelah masa-masa pembentukan tim P2B kota Bandung. Aku sedikit kelabakan dan malu mengingat bahwa sudah 1,5 tahun ini aku menghilang dari tim itu.

Aku tidak terlalu mengenali wajah sang ustadz, berhubung sebenarnya aku jarang sekali ikut acara semacam ini. Beliau berorasi dengan begitu bersemangat. Aku tidak tahu persis apa temanya, yang pasti saat aku mulai mendengarkan beliau sampai pada bahasan mengenai tafsir Al-Muddatstsir. Kurang lebih isi bahasannya seperti ini:

Seperti kita tahu, rangkaian ayat pertama yang diturunkan oleh Allah pada Nabi Muhammad SAW adalah “Iqra!”, Bacalah! Rangkaian ayat ini bisa ditafsirkan sebagai perintah bagi manusia untuk belajar dan menyerap beragam informasi yang telah disediakan Allah melalui ayat-ayat kauni dan ayat-ayat qaulinya. Hal yang menarik adalah, bagaimana setelah rangkaian surat Al Alaq ini turun, maka Allah kemudian menurunkan surat Al-Muddatstsir (Orang yang berselimut).

Berdasarkan shirah, Al Muddatstsir turun ketika nabi pulang kerumahnya dalam keadaan begitu syok dan terguncang dengan pertemuannya dengan Jibril saat bertahannuts. Istrinya Khadijah segera menyelimuti Rasul yang terlihat menggigil seperti orang kedinginan itu. Saat itulah wahyu ini diturunkan.

Ayat 1:

Kata ‘muddatstsir’ yang disebutkan di ayat ini yang sekaligus menjadi nama surat ke 74 ini secara harfiyah berarti orang yang berselimut. Istilah ‘berselimut’ dalam ayat ini dapat ditafsirkan (seingat saya Ustadz menyebut menurut Fi Dzilalil Quran) dalam pengartian yang luas. Dalam hal ini ‘selimut’ yang dimaksud mencakup segala hal yang menghalangi semangat seseorang, sehingga selimut yang dimaksud dapat bermakna ‘selimut kemalasan’.

Ayat 2:

Ada dua perintah yang diberikan oleh Allah pada Rasulullah SAW, ‘qum!'(bangkitlah/bangunlah) dan ‘Andzir!’ (serulah!), dimana kedua fi’il amr ini tidak memiliki maf’ul bihi. Berkaitan dengan ayat pertama, kata ‘qum’ berarti bangkit dari segala ‘selimut kelemahan’ yang membelenggu ruh kita untuk bangkit. Sedangkan perintah ‘andzir!’ adalah perintah untuk menyerukan apa yang telah diwahyukan pada ayat surat Al-Alaq. Ketiadaan maf’ul bihi (objek penderita) dalam kalimat perintah itu dapat ditafsirkan sebagai universalitas dakwah islam. Dakwah Rasulullah sebagai rasul terakhir ditujukan kepada seluruh umat manusia, dan bukan pada suku, ras, golongan, gender atau kalangan tertentu. Fragmen ayat ini sekaligus juga menjadi perintah dakwah pertama bagi kaum muslim untuk menyeru pada seluruh manusia.

Ayat 3:

Dalam ayat ketiga (‘wa Rabbaka fa Kabbir’/”Dan Nama Tuhan-Mu, Besarkanlah!”), terdapat suatu keunikan karena Allah SWT menggunakan susunan kalimat ‘wa rabbaka fa kabbir’ dan bukan ‘fa kabbir rabbaka!’ (besarkanlah nama Tuhanmu!) meskipun keduanya memiliki makna yang nyaris sama persis. Penafsiran mengenai hal ini ada tiga poin:

  1. Bahwa dakwah islam hanya memiliki satu visi, yaitu untuk membesarkan nama Allah SWT. Maka dari itulah ‘rabbaka’ menjadi penekanan dengan diletakkan pada awal kalimat tersebut. Ini adalah penegasan pula bahwa kita berdakwah bukan untuk sebuah kemenangan partai, kemenangan seorang kepala daerah/kepala pemerintahan, melainkan semata untuk menegakkan nilai-nilai islam dimuka bumi ini. Nilai yang bisa diambil disini adalah kelurusan niat.
  2. Bahwa sebesar apapun tantangan dan hambatan yang kita alami dalam jalan ini sesungguhnya tiada artinya dibawah ke’Maha Besar’an Allah SWT. Hal ini sekaligus isyarat bahwa dakwah islam dibangun atas dasar tauhid yang murni, dengan penafian segala kebesaran dzat kecuali kebesaran Allah SWT semata. Nilai yang bisa diambil adalah pentingnya menjaga ma’nawiyah dalam menjalani aktivitas dakwah.
  3. Bahwa dakwah Islam didasari semata atas dasar keikhlasan. Melepaskan semua bentuk motif-motif kesombongan dan takabur yang ada dalam aktivitas dakwah kita, karena hanya milik Allah SWT lah segala Kebesaran. Nilai yang bisa diambil adalah pentingnya kelurusan niat dan keikhlasan dalam beramal.

Ayat 4:

Dalam ayat ini kata ‘bersihkanlah!’ memiliki arti membersihkan diri, hati, niat, dll sehingga karakter/kepribadian yang menarik terpancar dari diri seorang muslim (Jleb! Kena deh!).

Ayat 5:

‘Rujza faHjur’ memiliki makna perintah untuk menghindarkan diri dari segala bentuk kemusyrikan, diantaranya saat niat kita kurang lurus.

Ayat 6:

Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak mengharap-harapkan datangnya balasan yang lebih didunia dari apa yang kita keluarkan dalam amal-amal kita. Meskipun ada pula janji Allah SWT tentang datangnya balasan berlipat didunia dan akhirat dari apa yang kita korbankan. Intinya adalah Tadhiyah dan keikhlasan!

Ayat 7:

Ayat ini menegaskan tentang arti penting tawakkal dan kesabaran setelah segala sesuatu yang kita ikhtiarkan. Ini berkaitan dengan peringatan yang diberikan Allah di surah Al Hajj seputar ‘Kemenangan-kemenangan yang tertunda’. Pemaknaan lebih dalam dari ayat ini merupakan pengingat kita bahwa makna ‘kemenangan’ bagi Allah begitu luas. Apa yang secara dzahir terlihat seperti kegagalan dari sudut pandang manusia bisa jadi sebenarnya kemenangan yang gemilang (berupa ganjaran pahala) dimata Allah atau terdapat hikmah yang mungkin saat itu akan sulit dicerna oleh pikiran manusia, namun terungkap setelah sekian waktu berjalan.

Contoh (oleh-oleh DMM nih), saat Baghdad diduduki pasukan Mongol, ternyata kemudian dakwah islam justru menjadi menemukan ‘kebangkitan baru’ dengan terbukanya jalur laut perdagangan ke Gujarat, yang akhirnya merambah hingga ke Nusantara. Tanpa adanya tragedi penaklukan Baghdad tersebut, mungkin dakwah sampai ke negeri kita akan tertunda puluhan hingga ratusan tahun. Contoh lain misalnya hikmah dibalik perjanjian hudaibiyah yang menjadi pintu ekspansi dakwah  yang lebih luas bagi kaum muslimin.

Alhamdulillah, Allah masih menganugerahkan semangat bagi saya untuk merecharge ruhiyah saya hari ini. Semoga menjadi washilah menjadi diri yang lebih baik dan lebih produktif. Semoga rangkaian taujih hari ahad kemarin menjadi sumber telaga semangat dan inspirasi menuju kemenangan di Pilkada Bandung dan Pemilu Nasional.

Oh iya satu lagi, setelah tanya kanan-kiri, barulah saya ngeh bahwa itu yang namanya ustadz Tate Qomarudin. Hmm… akhirnya saya bertemu dengan orang dibelakang lirik-lirik ‘maknyus’ Shoutul Harokah. Ah dasar gaptar(gagap tarbiyah)nya saya… hehehe.

Wallahu a’lam bisshawab…

Ya Allah, setidaknya…

Akhir-akhir ini saya tiba-tiba takut ketemu jalan raya. Bukan lantaran punya pengalaman dipalak ato trauma karena pernah kena musibah di jalan raya, tapi nggak tau kenapa begitu ada di jalan raya saya langsung inget sama kematian. Bawaannya paranoid aja kalo udah ketemu jalanan semisal mau naik angkot ato nyebrang jalan. Saya sendiri nggak masalah dengan paranoia yang saya rasakan itu, Justru Alhamdulillah malah ada hikmahnya juga ternyata. Sekarang, kalo mo nyebrang jalan, naik angkot, atau turun angkot, Alhamdulillah spontan aja saya mengucap basmalah.

Takut mati sih nggak, cuman sedikit waswas kalo-kalo saya lupa baca basmalah trus terjadi apa-apa. Coba kalo ternyata tiba-tiba saya ketabrak angkot, keserempet truk ato seringan-ringannya nyemplung ke galian kabel. Mending kalo cuma celana robek, kena air comberan, ato ada lecet,luka, ato patah tulang, lha… kalo justru menemui ajal disitu, bisa gawat! Bisa-bisa keancam nggak husnul khotimah… walaupun pernah mesantren 4 taon di pesantren bernama Husnul Khotimah.

Hal ini ternyata kebawa-bawa juga selama perjalanan ke Kuningan dua minggu lalu dan Ciamis ahad kemarin. Diatas Elf (Angkot segede L300) antara tegallega-ciamis basmalah dan istighfar itu spontan aja keucap sepanjang perjalanan. Kebayang kan, gimana rasanya kalo bus ngebut itu ‘goyangannya’ kayak gimana? Nah… berhubung bodinya yang lebih kecil dan manuvernya yang lebih lincah, Elf yang beraksi di jalanan goyangannya kerasa lebih parah lagi. Apa lagi kalo udah lewat tikungan dan si supir ngebut seenaknya, kayaknya nyebut doa safar berulang-ulang serasa kurang apdol.

Campur aduknya perasaan antara mabok-puyeng karena goyangan si Elf dan bayangan kematian yang seakan-akan udah siap menjelang kalo lagi papasan dengan bus ato truk udah sulit dibedain. Tapi mungkin saking udah pasrahnya, rasa takut mati justru udah ilang. Sempet juga ada bayangan-bayangan berkelebat, diikuti pertanyaan

“Ya Allah… aku masih sempet nikah nggak ya?”

Tapi terus tiba-tiba pertanyaan itu berubah jadi permohonan…

“Ya Allah, please dunk… aku mohon banget… Setidaknya berikan aku mati syahid kalau engkau berkehendak aku mati disini…” dan tiba-tiba perasaanku lebih plong walaupun mulutku tetep nggak mau berhenti komat-kamit mengucap basmalah berulang-ulang.

Ternyata pengalaman mengingat maut itu belum berakhir sampe aku turun Elf sodara-sodara! Aku turun di desa Lumbung Sari, Kecamatan Lumbung, Ciamis. Tau nggak pemandangan apa yang pertama aku temui disitu? Ternyata ada yang baru aja meninggal sepertinya baru akan segera dishalatkan sedang aku diturunkan pas didepan masjid desa. Jadi, kesimpulannya… yang pertama kali kulihat adalah keranda mayat yang sedang dibawa oleh rombongan laki-laki diikuti oleh ibu-ibu yang membawa makanan dalam panci.

Sedikit hikmah yang bisa kuambil dari fenomena tersebut, orang desa lebih baik hati ketimbang orang kota. Hah… dapet dari mana tuh kesimpulan? Ternyata begini, kalo di kota, biasanya keluarga yang berduka cita kadang jadi direpotkan dua kali lipat lantaran selain harus mengurus jenazah juga harus menjamu pelayat. Kalo disini… begitu ada yang meninggal, tetangganya langsung melayat sambil membawa makanan kerumah duka untuk dimakan bersama. Setidaknya kulihat hal ini meringankan penderitaan dan kerepotan pihak keluarga yang ditinggalkan.

Sebenernya pengalaman menegangkannya bukan disitu… tapi beberapa saat setelah aku kabur dari kerumunan itu, solat di mesjid yang lain dan tepar ketiduran saking capeknya serta maboknya naik Elf tadi. Si bapak Doli yang jadi alasanku ke ciamis ini ternyata tidak disitu, tetapi sedang berada dikolam yang letaknya di desa yang berbeda. Aku dianter oleh seorang bapak-bapak yang nyaris nggak bisa bahasa selain bahasa sunda ciamis. Bahasa Indonesianya asli terbata-bata secara sah dan meyakinkan. Aku cuma bisa tersenyum dan ber “he-eh… he-eh…”ria sepanjang perjalanan, sambil meringis setiap tikungan yang kami lewati. Halah… gimana nggak? Dengan kondisi jalan penuh tikungan yang mendaki gunung, lewati lembah ala ninja hattori, si bapak itu membawa motornya miring ekstrim kayak Valentino Rossi yang biasa kita liat di tipi-tipi. Ya ampun… Ya Allah… please lah… seenggaknya kalo aku mati… tolong dunk… lurusin niatkuuu! Niatku lurus kan ya Allah? Aku kesini dalam rangka ngurus TA-ku… Jadi please ya Allah… setidaknya matikan aku dalam syahid!!!

Dan ternyata ekspresi kusut dan mabokku ini jelas terlihat sama rombongannya pak Doli. Disitu kulihat Dosen Pembimbingku -Bu Pingkan- serta putrinya yang [sayangnya] masih SMP, Pak Indra Jati (Dosen Sipil yang Eks. Dirjen Dikti), Pak Doli beserta anak istrinya. Mereka sedang melihat kolam tempat uji coba pakan organik untuk ikan. Selain itu ada juga Pak Ajat, Pak Usup dan beberapa petani ikan lokal yang dibina sama Pak Doli. Setidaknya 5 kali aku ditanya dengan pertanyaan yang sama oleh 5 orang yang berbeda. Pertanyaannya: “Kamu capek yah?”. Berjam-jam kemudian, setelah aku sampe di Husnul Khotimah dan ketemu cermin baru aku nyadar seberapa kusutnya tampangku.

Ngomong-ngomong soal Husnul khotimah, aku jadi inget satu moment zikrul-maut lagi. Kolam ikan dan Rumah Pak doli letaknya ada di desa Panawangan, beberapa puluh kilo dari perbatasan Ciamis-Kuningan. Jarak dari Kuningan yang nggak seberapa jauh (hehehe… belom tau dia…) menerbitkan ide untuk mampir ke Husnul Khotimah dan pulang via jalur Cirebon – Majalengka – Sumedang. Nah… berhubung baru pertama kali  ngejajal daerah sini, aku baru tahu, jalan antara Ciamis-Kuningan itu berkelok-kelok dengan tanjakan yang curam kayak daerah puncak bogor. Aku juga baru tahu kalo supir bus di rute ini ugal-ugalannya minta ampun.

Saat itu sudah sekitar jam setengah 7 malam. Aku yang jadi penumpang ngerasain seakan bus itu lebih cocok disebut ‘ngesot’ ketimbang ‘ngebut’. Saking gedenya gaya sentrifugal (*halah* bener gak ya?) yang sanggup membuat pantatku bergeser kesana-kemari di kursi berderet 3 yang kosong. Udah nggak kepikiran lagi untuk tidur saat itu. Disini, bukan cuma basmalah lagi yang terucap. Setiap tikungan aku mengucap istighfar berulangkali. Ya Allah… seenggaknya kalau memang aku nggak sempet mendapatkan bidadari dunia… setidaknya segerakan aku bertemu dengan bidadari akhiratmu ya Allah…

Dan ternyata setelah doa itu ku ucap, aku ketiduran…