Soulmate
[Markaz, 27 jan 2008; “Semoga Allah berkenan mempertemukan kita di surganya…”]
Sebuah hari diawal 2005
“Assalamualaikum Akhi…” sebuah suara memanggilku dari selasar kantin Salman. Kulihat seorang ikhwan berkacamata, dengan jaket Gamais coklat muda menghampiriku. Aku lupa-lupa ingat apakah aku pernah berkenalan dengannya.
“Wa’alaikumussalam Wr. Wb.” kujawab salam itu dengan sedikit ragu. Tapi aku segera ingat bahwa beberapa waktu sebelumnya aku bertemu dengannya di acara briefing peserta sebuah daurah yang akan segera berlangsung.
“Eh, kalo D*** jadinya kapan sih?” tanyanya dengan akrab.
“Masyaa Allah… nih anak, dengan seenaknya menanyakan hal itu di tempat umum seperti ini” batinku.
“Antum gimana sih, kan besok berangkatnya…” jawabku heran. Kok bisa ya dia nggak tau.
Respon berikutnya benar-benar membuatku terbengong-bengong, tiba-tiba saja dia tertawa ngakak tanpa dosa seperti anak kecil sama sekali tidak peduli dengan dimana kami berada saat itu.
Sebut saja Insan, seorang mahasiswa seangkatanku asal jakarta dengan logat betawi medok. Aku hanya mengenalnya sekilas saja di daurah itu. Sedikit kesan yang melekat di benakku, ia adalah figur yang kocak dan easy-going dalam melihat sesuatu. Hal ini cukup mencairkan suasana antar peserta yang kaku pada hari pertama. Kami memiliki kesamaan dalam beberapa hal, diantaranya sama-sama sulit dibangunkan saat giliran hirosah/jaga malam. Selain itu kami sama-sama ada di ‘barisan paling depan’ dalam mengejar jajanan disekitar lokasi daurah. Maklumlah, badan kami yang sama-sama ber‘porsi’ besar tidak tercukupi dengan makanan yang disediakan panitia. Sayangnya, sepulangnya dari daurah dia segera harus dirawat dirumah sakit karena masalah pencernaan.
Setelah daurah itu, tak banyak hal yang kutahu soal beliau. Kami hanya saling bertegur sapa saat berpapasan. Aktivitasku di kemahasiswaan dan beliau di Gamais membuat kami jarang bertemu.
[ … ]
Pertengahan 2005
Awal tahun ajaran baru telah datang. Dari seorang rekan yang ada di YPM Salman aku mendapat kabar bahwa akan dibuka pendaftaran anggota baru di asrama Salman. Kebetulan orangtuaku memberi ‘warning’ untuk mencari tempat kost yang semurah mungkin karena kebutuhan keluarga yang cukup banyak diawal tahun ajaran baru itu. Tanpa membuang waktu lagi aku segera mendaftar dan melengkapi prosedur. Aku yakin bahwa prasyarat minimal seleksi masih dapat kupenuhi walaupun untuk masalah akademik IP-ku pas-pasan.
Saat itu aku sedang harus fokus di persiapan OSKM dimana aku menjadi koordinator di salah satu tim. Kostku jarang kutempati karena selalu menginap dikampus. Saat itulah aku melihat bahwa keberadaan tempat tinggal yang dekat dengan kampus menjadi sebuah kebutuhan. Dan asrama salman adalah lokasi ideal sesuai kriteriaku itu.
Proses seleksi berjalan agak terlambat, padahal batas waktu habisnya sewa kostku telah lewat. Maka untuk sementara sebagian besar barang-barangku kutitipkan di salah satu sekretariat unit di gedung kayu. Aku mandi di kamar mandi masjid dan menginap dimanapun yang memungkinkanku untuk menginap seperti di himpunan atau di gedung kayu. Saat itulah akhirnya aku mendapat kabar bahwa namaku terdaftar dalam calon penghuni asrama dan diperbolehkan untuk mulai memasukkan barang ke asrama. Segera kupindahkan barang-barang yang sempat mengundang komplain dari anggota unit itu.
Kegembiraanku tidak berlangsung lama. Adanya perubahan prasyarat dari YPM menempatkanku pada posisi sulit. IP-ku yang pas-pasan membuatku tidak memenuhi rumusan prasyarat yang baru. Aku menjadi ‘tunawisma’ untuk yang kedua kalinya dan sekali lagi jadi penghuni gelap di gedung kayu.
Aku bingung karena sudah terlanjur bilang ke orangtua mengenai diterimanya aku masuk asrama. Saat itulah aku bertemu kembali dengan Insan yang segera menjadi sasaran curhatku yang bingung mencari tempat tinggal. Saat itu juga dia langsung menawarkan tempat tinggal sementara di kontrakan yang ia sewa bersama rekan-rekan ikhwah di Pelesiran. Aku belum juga terlalu akrab dengan beliau saat itu. Bahkan saat itu pertemuan kami setelah sekian lama tidak berpapasan di Salman.
Tanpa pikir panjang aku segera mengiyakan tawaran itu. Segera barang-barangku yang memenuhi bioter kupindahkan ke ‘Markaz’. Aku memang tidak mendapat kamar disana, tapi bagiku yang sudah berhari-hari tidur ala kadarnya di Salman, tidur diruang tengah sudah lebih dari cukup. Aku kadang tidur di karpet dengan jaket tebal peninggalan Ospek, terkadang pula aku tidur disofa rotan reot yang tidak seberapa lebar, yang membuatku harus melipat badan. Ramadhan tinggal dalam hitungan hari, sehingga bagiku saat itu lebih baik daripada harus menghabiskan Ramadhan dalam gedung kayu.
Tak lama kemudian Insan memutuskan pindah ke sebuah asrama, dia menawarkan kamarnya dilantai dua untuk kutempati bersama ikhwan yang lain. Aku akhirnya membayar beberapa ratus ribu untuk sekedar pengganti sisa masa kontraknya itu. Beberapa saat tinggal disana membuatku mengenal rekan-rekan baru secara lebih intens disana.
[ … ]
Januari 2006
Kata orang, kalau ingin mengenal lebih jauh tentang seseorang maka kita dapat melakukan perjalanan dengannya, makan bersama dengannya atau menginap bersamanya. Karena kami satu kontrakan, aku dan ikhwan yang lain jadi saling tahu lebih jauh satu sama lain. Tapi tidak ada yang lebih akrab denganku selain Insan. Dari interaksiku selama beberapa bulan, kami jadi lebih saling terbuka tentang masalah masing-masing. Kesamaan dalam masalah kestabilan amalan yaumian dan hubungan dengan lawan jenis jadi satu hal yang justru membuat kami bisa saling mengingatkan. Kami jadi tahu rahasia masing-masing yang tidak diketahui ikhwan yang lain. Kami sadar bahwa masalah-masalah itu adalah qadhaya bagi jama’ah, tetapi justru karena kesamaan-kesamaan itulah kami lebih mudah untuk saling menasehati dalam mengatasi kekacrutan masing-masing.
Pernah selama beberapa minggu aku jarang pulang ke Markaz, masalahnya adalah lagi-lagi ada pemberlakuan wajib tilawah bagi seluruh penghuni kontrakan. Aku seyakin-yakinnya yakin bahwa maksud dan tujuannya adalah bagi kemaslahatan dakwah sendiri. Ini masalah tarbiyah ruhiyah kami sebagai seorang Akh. Tetapi aku disisi lain merasa terganggu dengan sistem aturan semacam itu. Melihat jauh kebelakang, semasa dipesantren dulu pun, aturan yang ketat justru semakin membangkitkan semangatku untuk melawan aturan tersebut. Aku memang bukan tipe orang yang senang diatur.
Begitu pula dengan tahfidz dan mabit. Aku cenderung resisten dengan ajakan yang bersifat memaksa dari Rio, Andi, dan Angga. Kalau sudah begitu, apapun alasannya aku akan menolak, walaupun resikonya beberapa hari selanjutnya komunikasi antar kami akan kaku tidak akrab seperti sebelumnya. Toh kemudian kekakuan itu segera menghilang seiring waktu yang membuat kami lupa kejadian-kejadian itu.
Hal ini jauh berbeda dengan kondisi jika Insan yang bicara padaku, atau sebaliknya. Dalam beberapa kepanitiaan, aku berkerja dalam tim yang sama dengan beliau. Tak jarang kekonyolan-kekonyolan yang muncul dari kami berdua membuat kami semakin akrab. Terkadang memang ada sesi pundung-pundungan, tetapi taklama kami berdua akan segera bermaaf-maafan. Inilah mengapa kami bisa lebih menerima nasehat satu sama lain. Mengenai tilawah, hubungan ikhwan-akhwat atau hal-hal lainnya.
Dalam sebuah kepanitiaan daurah, aku pulang ke Markaz diantar Insan. Waktu itu baru saja terjadi insiden ceroboh yang sempat membuat kami ngakak berdua diatas motor. Aku harus berganti baju karena akan kekampus, sedangkan ia akan menjemput seorang ustadz di Kebon Kembang. Sebelum kami sampai dirumah, kami makan bubur di tempat langganan Insan sewaktu masih di Pelesiran.
“Eh Ar… kayaknya seru juga ya kalo ntar kita udah punya anak cucu, trus kita cerita-cerita soal pengalaman-pengalaman konyol kita waktu jadi panitia daurah kayak gini.” ujarnya sambil mulai menyantap bubur itu.
“Iya sih San, tapi…” aku terhenti sejenak, “masalahnya apa mungkin ya kita masih tetep dijaga (oleh Allah) untuk tetap istiqamah disini… (di jama’ah). Lo tau lah, kondisi tilawah gue kayak gimana.”
“Eh Ar… masalah tilawah mah kita sama-sama kacrut. Tapi serius lho Ar… walopun amburadul, menurut gue yang penting rutinnya.” ucapnya sambil menyambar kerupuk. “Gini-gini… jujur ya Ar… walopun jarang juga gue bisa nyampe sejuz sehari, tapi gue tetep ngusahain banget tilawah walopun cuma 1-2 lembar”.
“Masalahnya dirumah nggak kayak gitu San…” ucapku sambil menghabiskan suapan terakhir, “Gue lagi males pulang ke Markaz, soalnya selalu aja langsung ditodong soal tilawah sama anak-anak.” ujarku sebelum akhirnya memesan satu mangkok lagi.
“Gue setuju sih… emang seru seandainya kita semua bisa kumpul lagi pas udah punya anak-cucu. InsyaAllah banyak cerita sepanjang aktivitas kita di ITeBe. Tapi… nggak ada yang bisa ngejamin kita bakal tetep ada gabung di dakwah selepas dari kampus.” aku melanjutkan kembali sarapan kloter kedua ku.
“Ya… selepas dikampus sih nggak ada dari kita yang tahu Ar. Akupun pernah sekali-dua kali terpikirkan untuk keluar dan lepas…”
“Heh… gue jitak lo kalo sampe insilakh…” potongku setengah bercanda sebelum sempat dia melanjutkan ucapannya.
“Lha… kalo lo yang lepas, gimana?” balasnya sambil ikut memesan satu porsi lagi.
“Ya… lo jitak gue lah…” jawabku asal sambil tetap asyik dengan buburku.
“Lho… kalo kita berdua lepas gimana?” sambarnya nggak mau kalah.
“Ya… udah, kita jitak-jitakan…” sahutku yang segera di sambut tawa kami berdua.
Nggak kerasa. Kita sudah sama-sama ditahun terakhir. Sama-sama berjuang untuk segera nyemplung ke arena dakwah yang baru dan lebih Riil di masyarakat. Aku dan Insan sama seperti dulu, masih dengan candaan-candaan khas kami. Semakin banyak kisah dan obrolan konyol yang kadang-kadang masih saja nyerempet ke topik lawan jenis. Dengan berbagai keterbatasan dan kekurangan yang ada, ternyata kami masih disatukan dalam panji yang sama… Insya Allah… bersama doa yang tulus, semoga tetap sama-sama istiqamah hingga ajal menjemput… Sehingga Allah mempertemukan kembali kami dan semua ikhwah lainnya di Surganya kelak. Amin…
Allahumma innaKa ta’lam, Annnahadzihil Quluub… Qad ijtama’at ‘ala mahabbatika, Waltaqqat ’ala Tha‘atika, Wa tawahhadat ‘ala Da’watika, Wa ta’ahadat ala nasyrati Syari’atika, Fawatsiqillahumma rabithatahaa… Wa adimmuddahaa… Wahdiha subulaha… Wamla’haa binuurikalladzi laa yakhbuu… Wasyrah shuduuraha bi faidzil iimaani Bika… Wajamilit tawakkuli ‘Alaika… Wa’ahyiha bi Ma’rifatika…Wa’amithaa ala SYAHADATI fii sabiilika… Innaka ni’mal maulaa wa ni’mannashir…
Wassalam….
*Admiring Senja*
Nb: Insan, Rio, Andi dan Angga adalah karakter nyata yang disamarkan (walaupun kemungkinan tetap dikenali siapa orangnya)