Refleksi 3 Bulan

Nulis lagi

Nggak kerasa udah lebih dari 2 bulan nggak nulis diblog. Niatnya pengen bikin lomba biar orang semakin giat nulis, justru malah gw  sendiri yang jadi jarang bikin tulisan. Rada paradoks juga kelihatannya.

Sebenernya sayang juga sih nggak nulis apa-apa. Padahal banyak yang bisa di share dari 3 bulan kebelakang. Terutama karena sekarang adalah masa-masa awal Ganesha Publishing House eksist. Seharusnya banyak hal menakjubkan yang bisa di tuangin selama 3 bulan ini, mulai dari gw yang kelabakan ngehandle IBC, bergabungnya zamzam dan Ninda, masuknya Luthfi dan Erik, effort yang kita keluarin pas bikin bisnisplan, dan banyak hal yang setelah melalui perenungan panjang merupakan anugerah berharga dalam hidup gw.

Definitely… GPH!! Our ‘real Company…..

Dengan modal nggak lebih dari sekedar mulut besar gw, Ganesha Publishing House sudah bisa berdiri seperti sekarang. Mmm… mungkin masih usaha kecil-kecilan, tapi itu semua merupakan anugerah yang luar biasa, buah dari sebuah kepercayaan. Kepercayaan Zamzam, kepercayaan Ninda, kepercayaan temen-temen blogger, kepercayaan dari rekan-rekan penulis, dan masih banyak lagi. Semua itu jadi modal yang bisa mengalahkan modal uang sebesar apapun. Apalah artinya gw tanpa kepercayaan yang begitu besar dari rekan-rekan semua?

Gw nggak bakal lupa saat-saat dimana setiap cetusan ide bisa menggetarkan gw. Saat setiap peluang sekecil apapun bisa membuat gw merasa begitu beruntung, bahkan kalo gw nggak malu gw bakal nangis ditempat. Betapa gw yang nggak biasa bersyukur tiba-tiba jadi fasih mengucap hamdalah setiap kali ada peluang yang entah dari mana datangnya. Walaupun belum pasti peluang itu akan bisa gw raih. Pendeknya, gw ngerasa jadi orang yang paling optimis didunia.

Memasuki bulan kedua operasional GPH (dengan team manajemen 5 orang), gw melihat banyak yang masih harus dibenahi, atau  lebih tepatnya semakin banyak yang harus dibenahi. Ibaratnya kerja profesional, prioritas-prioritas pribadi harus sudah diubah urutannya. Gimanapun, saat kita jadi karyawan disuatu tempat, nggak mungkin kan kita request ketempat kerja kita untuk mindah jadwal rapat ato deadline seenaknya karena ada urusan ditempat lain? Mungkin kita belum bisa ngegaji diri kita 1-3 bulan kedepan, tapi gimanapun nyawa dari GPH ada ditangan semua personil team. Gw sbg dirut masih bingung gimana caranya supaya tim ini bisa bergerak seakan-akan kita semua adalah “dirut”.

Jadi Bicara Mengenai Manajemen (Siape gw…?)

Gw sendiri melihat tim manajemen (dalam konteks kasus GPH) seharusnya berjalan seperti kumpulan orang yang berjalan dalam wilayah kerja yang jelas, tetapi fleksibel. Gw pengen bahwa masing-masing orang nggak terbatasi geraknya kecuali didalam rapat. Didalam rapat, bagaimanapun pemimpin rapatnya mungkin memang gw, tapi diluar sana DIRUT yang sebenarnya adalah setiap anggota tim ini. DIRUT bagian produksi, DIRUT bagian finansial, DIRUT bagian humas, dan DIRUT marketing yang masing-masing bisa berkreasi, berinisiatif dan berinovasi dibidang kerjanya masing-masing.

Gw pikir, saat ini inisiatif masih terlalu banyak terpusat ke gw. Sekarang mungkin belum menjadi masalah, tetapi suatu saat itu bisa jadi penyakit saat lingkup kerja kita sudah lebih luas dari sekarang. Cara kerja macam ini berpotensi ngebentuk manajemen yang jumud dan kaku, yang mungkin nggak tahan hantaman saat salah satu bidang kerja ketimpa masalah. So, all we need now is INITIATIVE bro… n’ siz.

Hal lain, walaupun karyawan (merangkap direksi sekaligus redaksi) baru 5 orang, manajemen SDM sudah mulai harus jadi perhatian serius. Makanya gw coba untuk berhubungan dengan pak Rama Royani dan Limawira untuk berkonsultasi masalah team building. Mudah-mudahan kongkrit ba’da liburan. Gw rasain kita satu sama lain masih kurang “saling mengisi”, dalam artian kelemahan satu orang dalam suatu hal harusnya bisa ditutupi kelebihan dari anggota tim yang lain.

Who Is The Truly Angel of Mine?

Getaran yang dulu pernah terasa, kini muncul lagi…. Tiba-tiba gw ada dalam kondisi membayangkan masa depan gw, entah mau seperti apa. Tanda tanya besar masih juga muncul dan sepertinya akan semakin besar berbulan-bulan kedepan. Siapa sih yang bakal jadi tandem gw di medan pertempuran yang namanya KELUARGA?

Setiap gw kembali mendengar kata itu, muncul trauma-trauma masa lalu. Selapang apapun hati yang ingin gw buka, sesadar apapun gw bahwa nggak akan ada yang pasti sebelum khitbah, gw masih menyimpan ketakutan terhadap seberapa misteriusnya puzzle yang bernama JODOH. Seperti apa sih bentuknya JODOHku itu? Orang macam apa yang bakal cocok dengan kriteria yang gw cantumin di formulir biodata ya?

Pertanyaan tadi mungkin sudah cukup absurd, tapi mungkin tidak seabsurd apa yang terlintas dikepalaku. Seniorku kah? Atau malah juniorku? Orang kampus atau gadis misterius yang entah dari mana? Seberapa matangkah tarbiyahnya? Atau apalah pertanyaan lainnya, yang aku sendiri nggak berani menerka-nerka jawaban pastinya.

Akhir-akhir ini kebingungan itu coba ku netralisir dengan meminta lewat doa. Bukan permintaan muluk-muluk yang kupanjatkan, cuma sebaris kata “Ya Allah, berikan aku akhwat biasa….”. Dan tiba-tiba saja kata-kata itu secara otomatis terngiang-ngiang tadi malam dan tak habis-habis.

Ya… aku cuma butuh orang biasa….

Aku memang cuma butuh orang biasa…

Bukan robot yang gila produktifitas…

Atau bidadari yang terlalu sempurna…

Atau Senja yang begitu menyilaukan cahayanya…

Diakhir harap, aku cuma butuh orang biasa…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *