Lika-Liku Tresno
“No, gue pinjem kopeah dunk… lo ada gak?”
Setengah gak percaya Tresno melihatku dengan tampang aneh, kayak keracunan tempe bongkrek..!! “Kesambet malaekat apaan loh…?” ledeknya. “Sialan…!! Gak, hari ini gue mentoring nih….. biar bisa jaim dikit, hehe…!!” jawabku nyengir kuda.
Tresno menoleh, “mentoring apaan lo hari gini…. emang masih jaman mentoring?”. Sekarang malah aku yang heran, “Lho, emang pas lo tingkat tiga gak ada mentoring? Lo udah ngambil kuliah agama blom sih?” tanyaku penasaran.
“Ooh…. mentoring AAEI1) ya… gue kira lo kurang kerjaan ikut mentoring lagi sama TPB2)…” jawabnya sok cuek. “Dijurusan gue, agama itu tingkat empat. Sekarang gue masih mau nyantai dulu sama kuliah Sarmud3).” Lanjutnya.
Hmm…. bener juga sih, aku baru inget kalo mata kuliah agama ini sebenarnya kuliah tingkat akhir. Cuma emang mayoritas temenku ngambil ditingkat dua ato tiga, terutama yang IPK-nya bagus. Kalo aku, ya…. karena sampe saat ini kuliahku lancar-lancar aja, aku ngambil kuliah agama semester 6 ini. Kebetulan ada jatah mata kuliah pilihan.
Pletuk…. kutimpuk Tresno dengan kertas. “Jadinya lo ada kopeah gak?” tukasku gak sabar. “Iya, lo cari aja di lemari situ tuh…. deket sama pakean dalem gue….” jawabnya sambil mengutak-atik game yang setahuku sudah dua harian ini dia mainkan hingga nyaris tidak beranjak dari depan komputernya. Aku hanya mengernyitkan dahi, “Ah, yang benar saja… masa kopeah disatuin sama ‘beginian’….!!”.
Hari beranjak semakin sore, pukul 15.55 di jamku yang telat 10 menit. Aku langsung berangkat lagi ke Salman4). Agak telat… paling kelompokku sudah mulai tilawah. Aku pun bergegas masuk masjid, wudhu, shalat ashar, lalu langsung mencari teman-temanku dikoridor utara…
Duh… mana sih anak-anak? Si Abang mentorku pun belum terlihat batang hidung nya. Sekarang jam Salman menunjukkan pukul lima kurang sepuluh, dan tidak satupun teman sekelompok yang datang. Kuperiksa lagi inbox si Otong – Hape butut kesayanganku –, dan….
“Aduh….!!” kataku sambil menepuk jidat…
Di HP kulihat pesan terakhir dari Bang Fahri, “Kita mentoring kamis ini ba’da maghrib. Tolong beri tahu yang lain.”. Aku langsung lesu melihat SMS itu. Ini kan hari jumat…
1) AAEI : Asistensi Agama dan Etika Islam, program pendukung mata kuliah agama islam.
2) TPB : Tahap Persiapan Bersama, program kuliah pada tingkat satu dimana beberapa jurusan disatukan dalam kelas-kelas besar. Sering dipelesetkan menjadi ‘Tahap Paling Bahagia’.
3) Sarmud : Sarjana Muda
4) Salman : Nama masjid kampus di ITB Bandung, Jl Ganesha No. 7.
—===|||===—
Malam itu gerimis, sehingga aku menunda makan malam. Males harus berhujan-hujanan kewarung nasi. Paling mentok-mentoknya aku bikin mie dengan pemanas air yang kupunya. Kebetulan aku pun masih mumet, berkutat dengan data praktikum tadi siang, yang besok harus ‘kusulap’ menjadi laporan.
Ceklek….. nguiik…. derit pintu kamarku yang mulai lapuk. Tiba-tiba kepala Tresno nongol, dengan tampang lesu. “Hoi… ar, Lo udah makan belum? Makan nyok….. laper nih… si Ruli juga mau cari makan bareng tuh…”
Hohoho… kesempatan yang gak boleh dilewatkan. Segera kujawab “Nitip dong….!!! Plis… cuplis… kue lapisss…., gue lagi ngerjain Laporan nih. Besok jam 9 harus gue kumpulin…”. Gue jujur kok, engh… gak juga sih, sebenarnya lebih karena gue males kehujanan aja makanya tawaran Tresno ini jadi kesempatan emas buat makan tanpa harus berhujan-hujanan. Walau sedikit manyun Tresno akhirnya menerima orderan ku ini. Akupun kembali kusut dengan data-data yang harus kuolah.
Setelah Tresno balik, dia main kekamarku. “Tadi gimana mentoring lo Ar?” tanyanya memecah keheningan plus konsentrasiku….
“Gue salah jadwal, harusnya kemarin…”
“Emang, dapet apa lo di mentoring…? Paling juga sama aja kan materinya sama mentoring TPB?”
“Ya…. sama gak sama, tetep aja wajib…. Masalahnya gue ketua kelompok jek!!”
“Alah… gue heran sama orang-orang Salman itu, kenapa sih mereka getol banget sama mentoring. Ujungnya politik lagi… politik lagi…” sahutnya dengan nada sinis.
Agak sedikit gerah, kujawab “heuh, maksud lo…?”.
“Jangan belagak gak tahu lah…. Lo tau kan golongan mana yang selalu menang pas pemilihan Ketua BEM? Paling juga mentoring ujung-ujungnya kesitu…”
Nada bicaranya yang semakin ketus membuatku berhenti mengetik…. “ Ah… jangan gitu Lo, Jangan asal nuduh…!! Lo ada bukti gak….” jawabku dengan nada tinggi walau kutahan.
Tresno terdiam, sebelum akhirnya menjawab dengan nada yang lebih santai… “Sorry deh Ar, gue rada emosi. Gue cuma inget masa-masa tingkat dua dulu…” ia terdiam tidak melanjutkan pembicaraannya.
“emang ada apa No?” tanyaku ingin tahu…..
“Udah ah… gak usah dibahas lagi…” Jawabnya tegas sambil ngeloyor pergi ke kamarnya.
Setelah malam itu, aku agak enggan membahas hal yang berkaitan dengan mentoring dengan Tresno. Aku gak tahu, apa sebenarnya yang membuat dia begitu sinis berhadapan dengan mentoring… atau lebih tepatnya rekanku, anak-anak aktivis Salman. Yang pasti, ada trauma yang masih membekas dipikirannya, entah apa itu..!!
“Hei, si Tresno kau apakan sih….?” pertanyaan Ruli yang tiba-tiba mengagetkan lamunanku. “Kenapa tiba-tiba dia jadi murung begitu ya, kuajak main game pun tak mau dia bah…!!” tambahnya dengan logat tapanulinya yang kental. Aku malas membahasnya, jadi kujawab saja asal…. “Lagi butuh pijeman duit kali Rul… Biasa, akhir bulan!!”.
—===|||===—
Esoknya aku masih kepikiran dengan obrolanku semalam, “Sebenarnya ada masalah apa sih Tresno dengan anak-anak salman?”. Pertanyaan ini membuat aku lebih mumet dibandingkan dengan laporanku yang akhirnya kukumpulkan agak telat. Biarlah…. pikirku, telat mengumpulkan laporan paling diminus oleh asisten, masalah dengan Tresno dapat membuatku kehilangan salah satu teman terbaikku.
Masih teringat satu setengah tahun lalu, secara tiba-tiba aku tidak memiliki tempat tinggal. Permohonanku masuk asrama ditolak, dan akhirnya aku pun menjadi pemukim ilegal di sekre salah satu unit di Salman selama beberapa waktu. Syukurlah tidak lama kemudian Tresno yang sebenarnya baru kukenal di sebuah kepanitiaan membantuku untuk mendapatkan kost.
“Eh…”, bahuku ditepuk dari belakang. Lamunanku buyar seketika. Ternyata Arif, senior sefakultasku, teman baik Tresno.
“Ngelamun aja nih…! Sampe gak nyapa ada teman lewat.”
“Eh, iya…! Maaf kang, lagi rada konsentrasi…..”
“Alah, konsentrasi apa ngelamun…? Sampe jaketmu jatuh aja gak kerasa….”, ledeknya sambil menyodorkan jaket ditangannya. Aku memeriksa tasku dan benar… jaket yang sejak tadi kuselempangkan di sela-sela tali tas sejak tadi jatuh beberapa belas meter dari tempatku berdiri. Akupun lalu berterimakasih padanya.
“Ah… benar juga…”, tiba-tiba terlintas ide untuk mengorek info dari Arif. Kupikir mungkin ia tahu tentang masa lalu Tresno.
“Kang, boleh nanya gak…?”, tanyaku tiba-tiba setelah tahu kami sama-sama akan ke jurusan. “Ya…. kalo bisa saya jawab mah, sok aja atuh…!!(silahkan saja…)”, sepertinya dia berpikir aku akan bertanya soal laporan.
“Akang kenal Tresno sejak TPB kan?”
“Mmm… ya! Memang kenapa?”
“Sebenarnya… ada masalah apa sih dengan Tresno? Sepertinya dia…. agak sinis dengan mentoring… dan teman-teman yang aktif di Salman.”, aku coba sedikit berhati-hati memulai pembicaraan ini. Arif menarik nafas panjang sambil mengangguk pelan, ia terdiam selama beberapa waktu lalu akhirnya menghentikan langkahnya. Ia mengajak ku duduk di bangku yang kebetulan ada di dekat tempat kami berdiri.
“Tresno dulu pernah aktif di Salman, saa…ngat aktif. Dulu kami pernah satu mentoring, tapi kemudian saat masuk tingkat dua kami pisah kelompok.”, tuturnya sebelum terdiam sejenak lalu kembali melanjutkan…
Tresno adalah sosok aktivis yang begitu bersemangat, sehingga cukup banyak senior yang respek padanya. Mereka tak segan mempercayakan amanah padanya. Sayang, ternyata ada yang luput menjadi pemantauan rekan-rekannya. Diluar organisasi dan aktivitas dakwah, pelan tapi pasti prestasi akademiknya merosot. Awalnya ia cukup sabar dan tidak terlalu bermasalah dengan hal itu. Bahkan saat teman-temannya sedang ‘drop’ semangatnya, dialah yang menaikkan moral mereka.
Tapi ternyata ada satu kejadian yang benar-benar mengecewakan dia. Disuatu kepanitiaan dia ditunjuk menjadi Mas’ul. Tetapi kemudian karena banyaknya rekan yang merangkap amanah akhirnya beberapa divisi terabaikan… dan saat itu sebagian dari panitia sedang terfokus mensupport salah satu Rekan yang mencalonkan diri sebagai Ketua BEM. Akhirnya kepanitiaan itu berjalan dengan kodisi memprihatinkan. Dana sangat minim menyebabkan panitia terjebak hutang. Saat itulah Tresno merasa ditinggal sendirian oleh ‘saudara-saudara’nya.
“Kami menyadari bahwa apa yang terjadi pada Tresno adalah kesalahan fatal…!! Ia.. kemudian berhenti halaqah….”, tiba-tiba Arif menghentikan bicaranya, matanya agak berkaca-kaca. Setelah menarik nafas panjang ia melanjutkan… “Hingga sekarang, beberapa rekan terutama yang pernah sehalaqah sedang berusaha untuk menarik dia untuk ngaji kembali… tapi tampaknya sulit, trauma itu masih sulit ia lupakan. Ia pun cenderung menghindar dari kami.”.
Ternyata begitu ruwet masalah yang menyebabkan Tresno seperti sekarang. Aku jadi teringat dengan materi yang kudapatkan disalahsatu pertemuan mentoring ku… Jalan dakwah memang terjal dan mendaki, tapi itu semua dapat dilewati dengan ukhuwah dan kesolidan dalam berjamaah. Jika landasan ukhuwah dan jamaah tadi goyah… maka lemahlah kekuatan dakwah. (Halah… ngomong apa sih aku, tumben jadi ustadz gini!!)
Akupun jadi sadar, ternyata apa yang dijalani mentorku dan teman-teman aktivis yang lain tidak seindah yang ku pikirkan. Beliau dengan segala cara mengusahakan agar kami bisa ikut dalam mentoring. Itu semua tanpa pamrih apapun selain harapan bahwa kami dapat bergabung dalam barisan yang sama dan menjadi muslim yang istiqamah. Sejenak aku bersyukur memiliki rekan dan mentor yang bersemangat dan saling support.
Dan percakapan tadi membuatku sedikit lega…. mungkin aku belum dapat memberikan solusi untuk masalah Tresno, tapi setidaknya lebh jelas apa yang bisa aku bantu. Aku harus bisa membantu Arif dan yang lain untuk dapat membuat Tresno ikut ngaji kembali.