Hidup Mahasiswa…..
Hidup Rakyat….
Hidup intelektualitas Kaum Tertindas…..
Perjuangan dan pergolakan sejarah Selalu diwarnai oleh pemuda. Pemuda dengan segala gejolak emosional, kekritisan dan kecenderungannya untuk memperbaharui sistem adalah bahan bakar bagi kobaran semangat revolusi, baik revolusi kultur, struktur, dan intelektual.
Perlu digaris bawahi bahwa tidak sembarang pemuda dapat menggelorakan perubahan. Hanya Pemuda dengan Intelektualitas, kekritisan, dan wawasan terbina serta yang peka terhadap kondisi masyarakat lah yang mampu mengemban tugas berat, “menstimulus perbaikan masyarakat menuju terciptanya Masyarakat Madani”. Dan yang mampu memenuhi kriteria tersebut antara lain adalah Mahasiswa.
Tantangan zaman terus berubah. Musuh-musuh bagi pergerakan kemahasiswaan pun semakin beragam. Mulai dari bahaya tunggangan dari pihak non mahasiswa, apatisme yang ada di dalam kalangan mahasiswa sendiri, disorientasi gerakan hingga tuntutan akademik yang semakin ketat. Berkaitan dengan akademik, Sepertinya sudah menjadi “fitrah”nya Dewan Rektorat untuk menjadi oposan dari gerakan kemahasiswaan.
sejak dahulu saat ITB masih merupakan institusi pendidikan negeri, hingga sekarang saat konsep BHMN digulirkan.. keadaannya masih saja mengikuti lingkaran setan yang ada. Dulu, rektorat memiliki wewenang penuh untuk menghambat, bahkan membubarkan entitas kemahasiswaan. sebagai bawahan dari departemen pendidikan apapun perintah dari “atas” mereka hanya memiliki satu hak, – berhak menindak-lanjuti kebijakan departemen pendidikan dalam batasan patron yang sudah ditentukan-. Saat itu rektorat menjadi senjata ampuh bagi penguasa dalam meredam gelombang ketidak puasan mahasiswa.
Sekarang zaman telah berubah, Rektorat tidak lagi berada dibawah Depdiknas, melainkan monitor oleh suatu “dewan senat” yang disebut MWA (Majelis Wali Amanat) sebagai kombinasi perpanjangan tangan dari masyarakat, mahasiswa dan pemerintah. Namun, untuk beberapa kalangan mahasiswa, MWA kurang dapat dikatakan representatif, karena suara yang dimiliki tiap golongan memang tidak dapat dikatakan proporsional. Sedangkan rektorat sendiri nampaknya “cukup cerdas” dalam mengambil peran seolah-olah sebagai single fighter , dan kebijakan yang di ambil pun kadang tidak lagi memperhatikan kebutuhan masyarakat dan mahasiswa yang seharusnya diperjuangkan.
Kesan yang timbul dari sikap dan kebijakan rektorat selama saya nangkring di ITB adalah: sumber daya finansial institusi ITB diatas segala-galanya. Apapun itu, selama bersifat non-profit nampaknya akan terus dipandang sebelah mata. PKL ITB sudah membuktikannya. Walaupun setelah dilobby memang ada sedikit itikad baik dari LPKM dengan menerima konsep training, namun belakangan ada saja masalah yang muncul, seperti sebagian PKL yang akhirnya tidak mengikuti training. menurut saya LPKM -saya yakin- tidak kekurangan sumberdaya manajerial. kalau saja bantuan pemberdayaan PKL disupport pula dengan manajerial, masalah-masalah tersebut dapat diantisipasi secara lebih profesional.
Itu baru “Orang luar”, lho, lha wong mahasiswanya aja digusur. Campus Center (terus terang saya sebenarnya agak kurang paham masalah ini) mungkin memiliki maksud dan tujuan yang baik (?? iya gituh). Namun saya pikir bukanlah suatu hal yang esensial saat ini. bayang kan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan campus centre dapat menghidupi (mungkin) ratusan orang mahasiswa kurang mampu. Untuk alasan keindahan dan fasilitas yang nantinya disediakan,(harus diakui) memang sc tidak akan pernah mungkin menandingi.(mana ada Mc’D di sc…??) Tapi,(kalo boleh suudzan) sepertinya ada agenda yang “membuntuti” pelaksanaan penggusuran SC. Saya, terus terang agak kurang sreg dengan Posisi sekretariat Kabinet KM ITB yang “jauh dari peradaban”seperti sekarang. Apa ini salah satu usaha meredupkan dinamika kemahasiswaan? lalu, apa bisa dipegang, janji 15 bulan pembangunan CC?