cantik atau stereotip cantik…….??

Sialan….. itu kata pertama yang sangat ingin saya ucapkan untuk memulai ocehan saya ini. Jumat hingga ahad kemarin saya pulang ke rumah saya di depok. Ba’da maghrib saya ikut nonton tv bersama keluarga, dan sialan…. sekali lagi sialan…. . Dari awal mata ini melotot sampai beranjak tidur jam 11-an setidaknya ada 4 sinetron yang saya tonton dan menurut kesimpulan mata saya, semua menyuguhkan materi yang sama: cinta, Hedonisme, dan mistik. Gak heran Presiden yang pernah bercokol di kursi RI I rata-rata percaya mistik, lha wong mereka juga keluar dari rakyat pecinta mistik.

Eit… sorry agak keluar jalur. Bukan mau menyalahkan masyarakat, hanya saja ada beberapa titik penting yang membuat saya tambah muak dengan sistem yang ada.
Pernah sadar gak? semua,(atau tepatnya mayoritas) produser sinetron adalah pengusaha keturunan india. “Setan-setan makhluk asing”  tersebut sudah memberikan “sumbangsih” besar dalam kerusakan moral, intelektual serta spiritual orang pribumi. Saya melihat tidak ada satu pun sinetron yang “benar-benar” memiliki muatan edukasi baik bagi masyarakat luas secara umum maupun remaja dan anak-anak khususnya. Selain itu tampaknya mereka mengeruk keuntungan yang sangat besar dari aksi pembodohan bangsa yang mereka lakukan. sehingga saya rasa sah-sah saja bila saya katakan ” di dunia entertainment, pengusaha-pengusaha india di indonesia sama saja dengan pengusaha-pengusaha yahudi di USA ” mereka sama busuknya.
Dari pagi hingga malam, masyarakat dicekoki dengan konflik percintaan, perselingkuhan, cinta remaja, hamil diluar nikah, dan perceraian. Baik di dunia akting maupun nyata hal tersebut dieksploitasi habis-habisan. Baru-baru ini  Puput Melati (memang nama sebenarnya), seorang mantan penyanyi cilik yang beberapa waktu lalu mengeluarkan album remajanya dengan videoklip yang erotis, menikah dalam usia dini. diduga sebabnya adalah ia telah hamil(terlepas bahwa itu adalah isu, kita lihat saja buktinya beberapa bulan lagi). Masih segar pula dalam ingatan kita Enno Lerian(juga memang nama sebenarnya), teman seangkatan Puput saat jadi penyanyi cilik yang hamil oleh pacarnya dan kemudian harus menerima nasib dikawinkan (ingat!! dikawinkan) pada usia muda. Menurut prediksi saya akan muncul sederet antrian artis muda yang menikah dini beberapa tahun lagi dengan kasus klise tersebut.
Hal lainnya adalah fakta bahwa sinetron ternyata merupakan media pembentukan pola pikir (mungkin brain wash lebih tepatnya). Bukti sangat Konkretnya adalah main stream dan stereotype dalam budaya masyarakat yang sudah begitu terkontrol oleh tayangan tv seperti sinetron. Coba anda tanyakan pada orang-orang yang sudah keranjingan sinetron, seperti apa ciri orang cantik menurut mereka mungkin kontan menjawab:”Bulu mata lentik, hidung mancung, rambut ikal….. itu tuh kayak si anu.. di sinetron ini….” kemudian coba anda perhatikan para tokoh pemeran sinetron-sinetron tersebut. SEMUA PEMERAN UTAMA MEMILIKI CIRI YANG SERAGAM, BAIK PRIA MAUPUN WANITANYA BER MUKA KEARAB-ARABAN ATAU KE INDIA-INDIAAN. DAMN.. mungkin sepertinya rasis, tapi MEMANG SAYA RASIS DALAM MASALAH INI. Masyarakat terjebak dalam pola bahwa yang namanya “cantik” dan “ganteng” harus lah sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh SAMPAH SAMPAH INDIA tersebut. Lalu kemana wajah wajah “membumi” ? yah….. ternyata masih bisa kok  kita lihat…… tuh yang jadi pembantu, atau sopir, atau gelandangan, atau yang jadi tuyul, neneklampir, sundel bolong dan berbagai sampah klenik lainnya. Hal paling tolol yang saya sadari adalah saya pun terbuai didalamnya.
Melihat hal itu, dalam renungan saya pagiharinya di kamar mandi timbul suatu perasaan baru:”SAYA SEMAKIN BENCI KAPITALISME” setan…. masyarakat dijejali produk produk kotor, “junk food” buat otak mereka, diajari cara-cara instant mencapai popularitas, diajari cara untuk tidak punya malu saat nanti terkenal, diajari untuk melihat hidup dari sisi kronika cinta saja. Lalu mana nilai kebangsaan? mana nasionalisme? mana sportivitas ? mana kerjakeras untuk mencapai prestasi? gak ada fenomena-fenomena macam “October Sky”, “A Beautiful Mind” dan fenomena intelektualitas lain.
Di sebuah Buku yang saya baca tentang Richard Feynman, seorang nobelis fisika, saya temukan sebuah komentar dari sang nobelis tentang Brazil, tempat ia pernah mengajar. Komentarnya saya rasa cocok dengan kondisi indonesia sekarang. yang perlu digaris bawahi, statement beliau keluar sekitar tahun 60-an yang berarti kita tertinggal 40 tahun lebih dari Brazil yang secara ekonomi gak jauh beda.
saya sebenarnya sudah memikirkan untuk menulis ini berhari hari tapi ternyata saya lupa untuk mendata ide ide saya itu…. dan hasilnya adalah tulisan amburadul ini. lainkali mungkin saya perbaiki. (perhatikan baik-baik, saya tidak membuat kesimpulan)
 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *